MAdBB-09


MATA AIR DI BAYANGAN BUKIT

JILID 9

kembali | lanjut

cover madbb-09YA. Kita. akan meneruskan pertempuran ini. Kau atau aku yang akan dapat berkumpul bersama dengan orang-orang Sanggar Gading untuk melakukan tugas yang penting itu. Tugas yang akan menentukan hari depan Sanggar yang dipenuhi dengan dorongan cita-cita bagi masa depan.

Jlitheng termangu-mangu sejenak. Seolah-olah ia mendapat peringatan, bahwa yang ingin dilakukannya itu adalah mengetahui apakah yang akan dilakukan oleh Cempaka. Tetapi jika Rahu memaksa untuk bertempur terus, maka sudah barang tentu ia tidak akan dapat mengelak.

“Bantaradi” berkata Rahu kemudian, “Sebenarnyalah aku tidak mengira, bahwa kau masih dapat bertahan untuk waktu yang terhitung lama. Aku kira, jika kita bertempur terus, kita akan terlambat. Aku atau kau yang dapat bertahan hidup, akan mati juga kita terlambat berkumpul. Aku kira, persoalan kita dapat kita tunda setelah kita selesai dengan tugas kita. Kita akan sampai pada takaran tertinggi dari kemampuan kita masing-masing”

“Persetan” geram Jlitheng, “Aku tidak takut kepada orang-orang Sanggar Gading. Jika aku terlambat, aku sama sekali tidak gentar. Jika aku mulai dengan ketakutan-ketakutan semacam itu, maka aku tidak akan dapat menyelesaikan tugasku”

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalimat-kalimat semacam itu lah yang kurang menarik kau ucapkan. Kau dapat mengundang seribu pertanyaan buat orang-orang Sanggar Gading”

Jlitheng menjadi semakin heran terhadap orang yang bernama Rahu itu. Sifatnya seolah-olah berubah-rubah penuh dengan teka-teki. Bahkan penuh dengan rahasia.

Karena itu, maka Jlitheng kemudian berkata lantang, “Rahu, apakah sebenarnya yang kau kehendaki. Kau pun seharusnya berterus terang. Kita akan dapat berbuat sesuatu dengan landasan yang wajar dan meskipun kita akan membunuh salah seorang diantara kita, tetapi kita sudah yakin, apakah yang akan kita lakukan”

Rahu justru tertawa. Katanya, “Kita masing-masing memang penuh dengan teka-teki. Tetapi baiklah, kita akan memecahkan teka-teki itu. Namun kita masih harus melakukan kewajiban kita atas nama Sanggar Gading”

Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa perintah Sanggit Raina bukannya sekedar main-main. Karena itu. maka ia pun tidak menentang niat Rahu untuk menunda persoalan mereka sendiri.

“Marilah, kita akan makan dahulu sebelum kita melanjutkan perjalanan” berkata Rahu tiba-tiba.

“Gila, kau benar-benar Gila” geram Jlitheng.

“Meskipun kita sudah makan sebelum kita berangkat, tetapi setelah kita bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan kita masing-masing maka aku, merasa lapar lagi. jawab Rahu.

Rahu menjadi semakin aneh bagi Jlitheng, seperti juga Jlitheng adalah orang yang diselubungi oleh seribu macam rahasia bagi Rahu. Namun Jlitheng tidak membantah lagi. Ia pun mengikuti Rahu masuk ke dalam rumahnya, sementara adiknya pun membawa senjata-senjata Rahu masuk pula ke ruang belakang.

“Kita akan makan” berkata Rahu sambil membuka tenong di geledeg bambu. Kemudian ia pun mengeluarkan beberapa makanan dan ceting nasi.

Tetapi dalam pada itu, yang sangat menarik bagi Jlitheng bukannya beberapa makanan dan ceting nasi. Ketika Rahu membuka tenong bambu, sepintas Jlitheng melibat sebuah lukisan pada tutup tenong bambu itu. Karena itu, dengan serta merta Jlitheng meloncat menghentakkan tutup tenong itu dari tangan Rahu.

Rahu sama sekali tidak mempertahankannya. Bahkan seolah-olah ia pun telah memberikan tutup itu kepada Jlitheng sambil bertanya, “Apa yang menarik perhatianmu Bantaradi?”

Jlitheng mengamat-amati lukisan itu dengan saksama Ia melihat lukisan dua lingkaran, matahari dan bulan yang berdampingan. Matahari yang berwarna putih dan bulan yang berwarna merah. Kemudian diantara matahari dan bulan itu ia melihat garis hitam tebal dengan sebuah bulatan pada pangkalnya, dengan lima buah gerigi”

Sejenak Jlitheng termangu-mangu. Bahkan kemudian wajahnya menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia berkata, “Surya Candra He, dari mana kau dapatkan gambar semacam ini?”

“Gambar apa?” berkata Rahu dengan wajah kosong.

“Dua lingkaran” Matahari dan Bulan, serta sebuah cakra”

Rahu memandang Jlitheng dengan tajamnya. Kemudian ialah yang bertanya, “Dimanakah ada gambar matahari, bulan dan sebuah cakra?”

“Ini” geram Jlitheng. Namun dalam pada itu, Jlitheng pun merasa bahwa ia telah terlanjur mengucapkan bentuk gambar itu. Karena itu, maka iapun harus mempertanggung jawabkannya. Jika yang dikatakan itu ternyata menuntut sikap yang khusus, maka Jlitheng pun akan berbuat apa saja sesuai dengan bekal yang dibawanya”

Tetapi Jlitheng pun kemudian ragu-ragu ketika Rahu bertanya, “Ki Sanak, dari manakah kau mengetahui bahwa lingkaran putih itu dimaksud dengan matahari dan yang merah itu matahari dengan bulan. Kemudian garis hitam dan bulatan bergerigi itu adalah cakra?”

Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian melangkah mendekati Rahu sambil berkata, “Apakah aku dapat melibat telapak kakimu?”

“Kenapa dengan telapak kakiku?” bertanya Rahu,

“Tidak apa-apa. Tetapi aku ingin melibat telapak kakimu” jawab Jlitheng.

“Kau memang orang aneh Bantaradi. Setelah kau melihat gambar pada tutup tenong tempat makanan itu. kau ingin melihat tapak kakiku. Tapak kaki yang tentu saja seperti tapak kaki orang-orang kebanyakan” berkata Rahu dengan nada datar. Namun ia pun kemudian duduk di amben sambil mengangkat kakinya, menunjukkan telapak kaki kirinya.

“Kakiku kotor” katanya,

Wajah Jlitheng menegang sejenak. Ia melihat pada telapak kaki yang kotor itu, lamat-lamat sebuah lingkaran hitam yang dibuat dengan melukai kaki itu.

“Apakah kau dapat melihatnya dengan jelas, atau aku harus mencuci kakiku dahulu” berkata Rahu.

“Aku melihatnya, “ sabut Jlitheng.

“Nah, sekarang kau pun harus memperlihatkan telapak kakimu. Kau sudah mengetahui tentang aku. Sekarang aku pun ingin mengetahui tentang dirimu. Tanda atau ciri apakah yang ada padamu. Kau tabu, bahwa hal ini menuntut tanggung jawab yang berat. Jika ternyata kau mempunyai ciri yang tidak sejalan dengan ciri-ciri yang kau lihat, maka kau tidak akan pernah keluar dari rumah ini. Orang yang aku sebut adikku itu sama sekali bukan adikku, Ia mempunyai ciri seperti yang aku punya. Dan ia adalah orang yang memiliki kemampuan yang sulit untuk dilawan. Karena itu, kami berdua tidak akan mengalami kesulitan apapun juga, itu kami terpaksa harus membunuhmu Aku sekarang bersungguh-sungguh. Kau pun tidak perlu berpura-pura lagi. Dengan pengenalanmu sepintas pada gambar ditutup tenang itu, dan bahwa kau tahu di telapak kakiku ada ciri khusus, maka kau tentu mengetahui tentang hubungan kami sebenarnya. Kau pun tentu tahu bahwa ciri-ciri itu bukan ciri dari padepokan Sanggar Gading”

Jlitheng termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa ia berhadapan dengan pihak yang lain dari padepokan Sanggar Gading, namun yang telah berhasil pula memasuki Sanggar itu.

Untuk beberapa saat Jlitheng tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia pun menjadi semakin ragu-ragu terhadap orang yang menyebut dirinya Rahu itu,

“Ki Sanak” berkata Rahu, “Siapapun namamu, apakah kau bernama Bantaradi, atau Hantu berlidah Api, atau Bertangan Guruh atau siapapun juga, namun aku ingin tahu, siapakah sebenarnya kau. Aku yakin bahwa kau memang tidak bersungguh-sungguh untuk berada di dalam lingkungan orang-orang Sanggar Gading”

Jlitheng menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih sibuk mengurai keadaan yang sedang dihadapinya

“Jawablah. Waktu kita tidak terlalu panjang. Sebelum gelap kita sudah akan meninggalkan sendang Gambir. Karena itu, maka persoalan ini harus cepat kita selesaikan” berkata Rahu kemudian.

Namun tiba-tiba saja Jlitheng berkata, “Kau takut terlambat? Kau takut mati dibunuh oleh Sanggit Raina?”

“Gila” jawab Rahu, “Kau tentu tahu jawabnya. Bukan karena aku takut dibunuh Sanggit Raina atau Cempaka atau orang yang disebut Yang Mulia itu sekalipun. Tetapi aku kira seperti yang ingin kau lakukan pula, bahwa jika kita terlambat, kita kehilangan kesempatan untuk mengetahui, apakah yang akan dilakukannya malam nanti”

Jlitheng menarik nafas. Katanya, “Kau benar. Akupun ingin mengetahui apa yang akan dilakukan”

“Tetapi sebut dahulu atau tunjukkan ciri-cirimu. Siapa kau”

Jlitheng masih ragu-ragu. Tetapi gambar matahari bulan dan cakra itu telah meyakinkannya. Apalagi ketika ia melihat tanda di telapak kaki orang yang menyebut dirinya bernama Rahu dan bergelar Iblis bertangan Petir itu.

“Cepat” Rahu hampir kehilangan kesabaran, “Jika kita ternyata orang lain, maka kita akan segera saling membunuh”

Jlitheng menjadi tegang. Namun ia pun kemudian menyingsingkan kain panjangnya. Dari bawah kain panjangnya dia mengurai sehelai tali anyaman seperti sehelai dadung. Pada ujungnya terikat sebuah benda yang berkilat-kilat”

“Kau tahu, siapakah yang memiliki senjata seperti ini? bertanya Jlitheng.

Tetapi Rahu menggeleng lemah Katanya, “Aku tidak mengerti”

Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Kemudaan ia pun mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya yang besar. Kemudian diambilnya sebuah lencana berwarna dasar kuning. Katanya sambil melontarkan lencana itu ke amben bambu di sebelah mereka berdiri, “Lihatlah. Jika kau mempunyai gambar pada ceting nasimu, maka aku pun mempunyai ciri yang mungkin pernah kau kenal. Jika kau tidak mengenalnya pula, maka kita memang akan saling membunuh. Aku pun tidak ingin dikenal oleh orang yang asing”

Wajah Rahu menjadi tegang. Diambilnya lencana yang dilontarkan oleh Jlitheng itu. Diamatinya tiga buah warna lingkaran bersusun yang terdapat pada lencana itu. Yang bergerigi, kemudian berwarna lingkaran berwarna putih, dan yang terbesar bergerigi, kemudian lingkaran berwarna putih, dan yang tengah adalah lingkaran berwarna merah.

Wajah Rahu yang tegang menjadi semakin tegang. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Ini adalah lambang yang terdapat pada kelebet pasukan paling tangguh dari masa Majapahit akhir”

“Ya. Itu adalah lambang pada sebuah panji-panji, tetapi juga sebuah tunggul. Dan yang kau lihat itu adalah sebuah lencana. Apakah kau mengenalnya?” bertanya Jlitheng.

“Kelebet dari pasukan yang dipimpin, oleh Pangeran Kuda Surya Anggana” desis Rahu, “He dari mana kau dapatkan lencana itu? Mungkin kau menemukannya di pinggir jalan bekas kota Majapahit akhir. Mungkin kau telah menyamun orang yang kebetulan membawa pertanda itu”

“Kau dapat mengenalinya?”

“Cakra, matahari dan bulan” desis Rahu.

“Mirip dengan gambarmu pada tenong itu” desis Jlitheng.

“Ya. Tetapi siapakah kau sebenarnya? Apakah aku benar-benar harus membunuhmu atau tidak”

Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya, “Pertanda itu adalah pertanda keluargaku. Mula-mula kelebet Surya Anggana tidak memakai bulatan ketiga. Tetapi ketika anaknya lahir, dan diberinya nama Candra Sangkaya, maka timbullah bulatan ketiga. Matahari dan bulan Surya dan Candra”

“Ya. Tetapi siapakah kau?”

“Akulah Candra Sangkaya”

“He” wajah Rahu yang tegang itu menjadi semakin tegang. Lalu dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah benar aku berhadapan dengan Raden Candra Sangkaya”

“Ya Akulah anak Pangeran Surya Sangkaya yang bergelar Kuda Surya Anggana. Aku memiliki tunggul dari tiang panji-panji Surya Candra ku. Lengkapnya Tunggul dari Kelebet Cakra Surya Candra. Dan tunggul itu adalah yang kau amati itu”

Rahu termangu-mangu sejenak. Sekali-kali dipandanginya wajah Jlitheng yang berkeringat. Namun kemudian dipandangi-nya lencana yang ternyata adalah tunggul pada panji-panji Cakra Surya Candra,

“Nampaknya aku memang harus percaya” desis Rahu.

“Karena itu aku mengenal, bahwa pada telapak kakimu terdapat satu ciri yang dapat aku mengerti” berkata Jlitheng.

Rahu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku adalah salah seorang prajurit pada pasukan di bawah Kelebet Cakra Surya Candra. Waktu itu aku memang masih muda, jauh lebih muda dari Pangeran Surya Sangkaya” Jlitheng mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Sekarang? Di pihak manakah kau sebenarnya berdiri?”

“Aku adalah pasukan sandi Demak. Aku memang menempat-kan diriku pada pasukan sandi. Aku mendapat tugas untuk mengumpulkan pusaka Majapahit yang masih tercecer. Selebihnya, aku juga harus mengamati kemungkinan-kemungkinan yang dapat menggoyahkan sendi ketenangan Demak sekarang”

Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia bertemu dengan orang yang tidak disangka-sangkanya sama sekali.

Namun dalam pada itu, Rahu lah yang kemudian bertanya kepada Jlitheng, “Ki Sanak, jika benar kau adalah putera Pangeran Surya Sangkaya yang bergelar Surya Anggana di peperangan, apakah yang sekarang sedang kau lakukan? Apa kah kau masih merindukan suatu masa seperti pada masa kebanggaan Pangeran Surya Sangkaya, atau kau sudah berdiri diatas satu sikap yang lain”

“Pertanyaanmu kurang menyenangkan bagiku. Aku anak Candra Sangkaya. Aku ingin mewarisi sifat-sifat ayahku. Aku ingin. Aku tidak tahu, apakah keinginanku ini terpenuhi dengan sikapku sekarang ini. Tetapi aku adalah seorang kesatria yang mempunyai tugas darma. Ada atau tidak ada ikatanku dengan Demak. Ada atau tidak ada ikatanku dengan tugas-tugas sandi seperti yang kau lakukan. Namun aku adalah orang yang berdiri pada satu sikap darah seorang Senopati Agung Majapahit. Dan aku pun tidak begitu bodoh untuk merindukan masa lampau dalam keadaan dan suasana sekarang. Tetapi aku merindukan yang akan datang dengan kebesarannya sendiri sesuai dengan beredarnya jaman. Namun demikian, aku tidak dapat ingkar, bahwa aku adalah anak yang dilahirkan oleh masa lampau untuk masa depan. Karena itu, masa depanku tentu berlandaskan dengan masa lampau itu sendiri”

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku memang harus yakin, bahwa kata nuraniku tentang kau adalah benar. Sejak aku bertemu dengan kau di tengah bulak itu, aku sudah menduga, bahwa kau mempunyai tugas tersendiri Kehadiranmu di Sanggar Gading pun tentu membawa pesan khusus, meskipun dari nuranimu sendiri”

“Nah, sekarang terserah kepadamu” berkata Candra Sangkaya, “Apakah aku kau anggap orang lain yang harus saling membunuh, atau kau dapat membiarkan aku dan sebaliknya aku dapat membiarkan kau berada bersama-sama di dalam Sanggar Gading”

Rahu tersenyum. Katanya, “Pada suatu saat kau akan benar-benar menjadi seorang yang sombong, kasar dan tinggi hati justru karena kau ingin menyesuaikan diri dengan sifat orang-orang Sanggar Gading. Bagiku, kita dapat bersikap wajar. Dan pertanyaanmu itu akan dapat kau jawab sendiri”

“Persetan?” geram Jlitheng, “Tetapi baiklah. Dalam batas-batas tertentu kita akan dapat bekerja bersama”

“Aku berharap demikian Biarlah kita mencoba mengikuti tingkah laku orang-orang Sanggar Gading. Selama ini, ternyata aku telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari Cempaka. Aku mendapat tugas untuk mengawasimu”

“Aku sudah tahu bahwa kau memang harus mengawasi aku. Persoalannya sekarang, apakah kau benar-benar orang yang kau katakan. Jika kau sekedar memancing kebenaran yang ada padaku, maka aku harus berhati-hati sekali”

“Baiklah. Jika, kau masih saja ingin bersikap benar-benar seperti orang Sanggar Gading Sekarang, kita betul-betul makan Kita akan segera berpacu ke Sendang Gambir. Kita tidak boleh terlambat supaya kita tidak kehilangan jejak”

Meskipun tidak begitu banyak, tetapi Jlitheng dan Rahu pun makan bersama orang yang bertubuh raksasa, yang semula disebutnya adik Rahu, tetapi ternyata juga seorang petugas sandi dari Demak.

Sejenak kemudian, maka Rahu dan Jlitheng pun telah meninggalkan padukuhan yang aneh itu. Mereka berpacu menuju ke Sendang Gambir. Tetapi agaknya Rahu telah mengenal jalan dengan baik, sehingga mereka menempuh jalan memintas.

Namun dalam pada itu, di sepanjang jalan itu Jlitheng sempat bertanya, “Siapa namamu?”

“Rahu yang bergelar Iblis bertangan Petir” jawab Rahu sambil tersenyum.

“Persetan. Siapa namamu” Jlitheng hampir berteriak. Rahu tertawa. Anak muda yang bernama Candra Sangkaya itu memang menarik sekali baginya. Jawabnya kemudian, “Namaku adalah Ranggah Wira Murti”

Jlitheng mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Itu benar namamu?”

“Ya, kenapa?” Rahu tertawa, “Mungkin kau tidak percaya. Seperti kau aku dapat membuat nama yang paling sederhana tetapi juga yang paling bagus kedengarannya. Tetapi Ranggah Wira Murti memang namaku. Seperti juga Candra Sangkaya adalah namamu, nama pemberian Pangeran Surya Sangkaya, Senapati Agung dari Majapahit yang berjuang sampai saat terakhirnya”

Jlitheng tidak menyahut. Tetapi terdengar ia mengumpat Dalam pada itu, maka kuda mereka pun berpacu semakin cepat. Ketika di tengah bulak panjang ia melibat seekor kuda berpacu menyilang jalan mereka, matra Jlitheng berdesis, “Apalagi yang terjadi He, apakah penunggangnya itu juga orang Sanggar Gading?”

“Bagaimana menurut penglihatanmu?”

“Gila” geram Jlitheng, “Tetapi aku kira ia bukan orang Sanggar Gading”

“Ya. Ia memang bukan orang Sanggar Gading”

“Apakah penunggangnya sedang mengejar seseorang?

“Jangan membuat persoalan baru lagi. Nanti kita terlambat” desis Rahu.

Jlitheng tidak menyahut. Tetapi diamatinya kuda yang berpacu itu sempat hilang dibalik kepulan debu yang tebal.

“Kau selalu tertarik kepada setiap peristiwa yang kau jumpai Tetapi kali ini kita benar-benar tidak ingin kehilangan waktu lagi. Matahari sudah condong. Kita tidak boleh terlambat, agar kita tidak kehilangan kesempatan. Mungkin kali ini kesempatan yang kita peroleh tidak memadai Namun demikian disaat lain kita akan sampai juga pada persoalan yang lebih penting” gumam Rahu.

Jlitheng tidak menjawab. Namun kuda yang berpacu itu memang sangat menarik Jika ia tidak terikat dengan keinginannya untuk mengikuti orang-orang Sanggar Gading, maka ia tentu sudah mengikuti derap kuda yang berpacu itu.

Demikianlah, maka Jlitheng dan Rahu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan tempat yang sudah ditentukan oleh Sanggit Raina, Sanggar Gading.

Ternyata karena mereka melalui jalan memintas, maka mereka tidak terlambat sampai ke tempat yang sudah ditentukan. Bahkan keduanya bukanlah orang terakhir yang datang. Ketika Rahu dan Jlitheng sudah duduk bersandar batu dengan mata sedikit terpejam, dua orang kawan mereka datang dengan nafas terengah-engah. Demikian mereka turun dari kuda. maka keduanya segera duduk diantara mereka yang datang terdahulu sambil berdesis, “Aku sudah cemas, bahwa aku akan terlambat, “

“Darimana saja kalian sehingga baru sekarang kalian datang?” bertanya Rahu,

Keduanya tertawa. Namun yang seorang berdesis, “Anak itu singgah sebentar di rumah isterinya”

“Isterinya? He, apakah ia beristeri?” desis Rahu.

Keduanya menahan tertawanya Tetapi keduanya tidak menjawab,

“Gila” geram Rahu.

Tiba-tiba saja yang muda itupun berkata, “Isteriku memang seorang yang sangat baik. Aku telah dibekali dengan kancing gelung emas bermata intan”

Rahu menggeram Katanya, “Kau merampok lagi. Kau menodai nama Sanggar Gading”

Tidak ada yang tahu, bahwa kami orang-orang Sanggar Gading, “Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa menodai? Bukankah bukan hanya aku saja yang melakukannya?”

“Mereka memang bertugas melakukan. Bukan kita yang akan mengemban tugas yang penting” jawab Rahu.

Yang muda itu tertawa. Katanya, “Apa salahnya”

“Tetapi jika kau tertangkap, dan kau tidak tahan mengalami tekanan, maka rencana ini akan bocor. Selagi kau diseret di belakang punggung kuda oleh para pengawal padukuhan, maka sekelompok prajurit Demak telah mengepung kita disini, karena ada diantara mereka yang melaporkannya” Rahu hampir membentaknya.

Orang itu terdiam. Mereka tahu bahwa Rahu adalah orang terdekat dari Cempaka. Dan Cempaka adalah adik Sanggit Raina yang ditakuti oleh setiap orang di Sanggar Gading.

Karena orang itu tidak menjawab, maka Rahu pun terdiam pula. Ia telah menempatkan badannya sebaik-baiknya kembali seperti saat kedua orang itu belum datang, sambil memejamkan matanya.

Jlitheng yang mendengarkan pembicaraan itu menahan perasaannya. Memang sulit untuk dihindari, bahwa orang-orang dalam kelompok yang demikian akan melakukan kejahatan terpisah menurut kehendak mereka masing-masing. Jlitheng tidak tahu, jika Sanggit Raina mengetahuinya, apakah ia akan marah, atau membiarkan saja hal seperti itu terjadi.

“Persetan” Jlitheng mengumpat di dalami hatinya. Namun ia tidak memikirkannya lagi. Ia pun mencoba beristirahat sebaik-baiknya sebelum mereka akan melanjutkan tugas mereka, yang masih belum mereka ketahui dengan jelas.

Ternyata Sanggit Raina yang telah berada diantara orang-orang itu pun segera memberikan perintah. Ia pun agaknya masih ingin beristirahat. Sementara Cempaka yang telah berada di tempat itu pula berjalan hilir mudik dengan pandangan kosong.

Langit yang menjadi kelampun semakin bertambah kelam. Bintang-bintang bertebaran dari sudut langit sampai ke sudut yang lain Batang ilalang yang tumbuh dengan liar berayun-ayun disentuh angin yang sejuk,

“Kita akan memasuki Kota Raja menjelang tengah malam” desis Sanggit Raina kepada Cempaka ketika adiknya itu lewat di depannya.

“Apakah yang masih kita tunggu?” bertanya Cempaka.

“Biarlah Kota Raja itu benar-benar tertidur” jawab kakaknya.

Cempaka tidak menyahut. Iapun melangkah lagi hilir mudik. Sekali-kali dipandanginya langit yang cerah Namun kemudian dilayangkannya tatapan matanya kekejauhan menembus gelap.

Ketika lintang Gubug Penceng nampak tegak di ujung selatan, maka Sanggit Raina pun kemudian bangkit dan membenahi pakaiannya. Beberapa orang pengikutnya telah tertidur. Cempaka pun tidak lagi berjalan hilir mudik, tetapi ia sudah duduk diatas sebuah batu yang besar.

“Kita akan bersiap” berkata Sanggit Raina,

“Apakah kita akan memberitahukan tugas kita sekarang?” bertanya Cempaka.

“Ya. Kita akan memberikan beberapa pesan. Kuta harus bekerja dengan cermat. Yang kita hadapi bukan saja kekuatan yang terdapat di istana itu yang agaknya tidak terlalu besar Tetapi jika rencana ini sudah tercium oleh orang-orang Pusparuri atau orang-orang Kendali Putih yang juga sudah siap, maka kita akan menghadapinya. Selebihnya, jika prajurit peronda Demak mengerti bahwa kita memasuki Kota Raja, maka kita pun akan mengalami kesulitan” jawab Sanggit Raina.

“Jadi, apakah semuanya kita kumpulkan?” Cempaka bertanya pula.

“Ya. Aku akan memberikan penjelasan” Cempaka pun kemudian membangunkan seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan yang tertidur disebelah batu tempat ia duduk. Lalu disuruhnya orang itu membangunkan kawan-kawannya dan berkumpul untuk mendengarkan penjelasan terakhir.

“Kita akan melakukannya sekarang” berkata Sanggit Raina setelah semuanya berkumpul mengitarinya, “kuda-kuda kita akan kita tinggalkan disini. Kita akan merayap mendekati kota. Kita tidak akan melalui pintu gerbang yang tentu diawasi oleh para prajurit meskipun barangkali tidak akan dijaga terlalu ketat”

Orang-orangnya mendengarkan perintah itu dengan saksama. Kemudian Sanggit Raina pun melanjutkan, “Kita akan memasuki sebuah istana seorang Pangeran. Kalian tidak perlu mengetahui apa maksudnya. Tetapi yang perlu kalian ketahui, bahwa kita ingin membawa Pangeran itu ke padepokan kita Pangeran itu mempunyai nilai yang tiada taranya Karena itu, maka beberapa pihak pun akan melakukan seperti yang kita lakukan sekarang”

Beberapa orang menjadi tegang. Namun Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia tidak mendapat tugas yang bertentangan dengan niat kehadirannya, di Sanggar Gading.

Namun ternyata bahwa Sanggit Raina masih belum selesai Ia masih berkata, “Agar kuda-kuda kita tidak hilang, maka dua diantara kita yang paling tidak berarti akan tinggal disini Karena itu, aku tidak berkeberatan ketika ada diantara kalian yang membawa orang-orang yang sebenarnya tidak aku kehendaki”

Wajah-wajah menjadi tegang. Jlitheng pun menjadi berdebar-debar. Jika ia ditunjuk untuk sekedar menunggui kuda-kuda itu, maka rencananya akan pecah

“Dua orang yang aku tunjuk menunggui kuda harus bersyukur, karena kemungkinan mereka untuk mati, jauh lebih kecil dari kita yang akan pergi memasuki Kota Raja” berkata Sanggit Raina.

Jlitheng pun kemudian menarik nafas dalam-dalam, ketika ternyata Sanggit Raina menyebutkan namanya

Sejenak kemudian, maka orang-orang Sanggar Gading itu pun telah bersiap sepenuhnya. Ketika Sanggit Raina memberikan aba-aba, maka mereka pun segera berangkat menuju ke Kota Raja pada saat Demak sedang tertidur nyenyak.

Kota Raja itu pada keadaan sehari-harinya adalah kota yang tenang. Tidak banyak masalah yang timbul. Meskipun di daerah yang jauh masih kadang-kadang terjadi pertempuran melawan mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan dan berusaha untuk memisahkan diri namun keadaan pada umumnya telah menjadi baik.

Karena itu, maka para pengawal kota tidak terlalu ketat mengawasi jalur-jalur jalan masuk dan keluar kota. Banyak jalan-jalan kecil dan regol-regol padukuhan yang tidak mendapat pengawasan. Apalagi jalan-jalan budak yang langsung menusuk masuk ke dalam kota. Dengan demikian maka sulit untuk menyusup masuk ke dalam kota. Sanggit Raina yang berjalan di paling depan sempat memberikan petunjuk, kemana mereka harus pergi.

“Tidak ada lain yang harus kalian kerjakan. Menangkap hidup-hidup Pangeran yang bergelar Sena Wasesa yang usianya sudah menjelang tiga perempat abad. Tetapi ia adalah seorang Pangeran yang sakti berkata Sanggit Raina.

Tidak seorang pun yang berani bertanya, kenapa Pangeran itu harus ditangkap hidup-hidup.

“Apakah namanya memang Sena Wasesa?” bisik Jlitheng.

Rahu menggeleng sambil berdesis, “Ia bergelar Sena Wasesa karena sesuatu yang pernah dilakukannya. Namanya sendiri bukan Sena Wasesa

“Siapa??” bertanya Jlitheng pula

“Aku tidak tahu. Aku hanya menduga”

Jlitheng tidak bertanya lagi. Namun ia merasa jantungnya berdebaran semakin keras.

“Bantaradi” bisik Rahu, “Apakah menurut pertimbanganmu, kita akan benar-benar ikut menangkap Pangeran itu atau justru membebaskannya?”

“Tentu kita akan menangkapnya” desis Jlitheng, “He, apakah kau sedang menjajagi aku”

“Hentikan kegiatanmu. Dalam keadaan seperti ini, kau jangan berpura-pura lagi” Rahu menggeram.

Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun ia merasa, betapa Rahu sudah menahan hati. Maka, dalam keadaan yang gawat itu, Jlitheng pun menyadari, bahwa ketegangan di hati masing-masing akan mudah membuat mereka merasa tersinggung Karena itu, maka katanya kemudian, “Maaf. Tetapi aku bersungguh-sungguh. Aku ingin Pangeran itu benar-benar ditangkap”

“Itu akan menggemparkan Demak. Aku akan menjadi salah seorang yang kelak harus mempertanggung jawabkan, jika Pangeran Sena Wasesa itu mengalami sesuatu” berkata Rahu.

Jlitheng tidak segera menyahut. Mereka berjalan di ujung paling belakang Namun dengan demikian mereka dapat berbicara diantara mereka.

“Rahu, jika kau ingin membebaskannya, bagaimana cara yang sebaik-baiknya kau lakukan?” bertanya Jlitheng.

“Tentu aku akan berpihak kepada Pangeran itu” berkata Rahu, “selebihnya aku harus melontarkan isyarat ke udara”

“Apa yang akan kau lontarkan? Apakah kau membawa panah sendaren atau membawa panah api?”

“Tidak, aku harus melontarkan sesuatu ke arah tertentu. Kira-kira tigapuluh langkah kearah Barat”

“Barat mana. Apakah kau sudah tahu, bahwa kita akan pergi ke istana Pangeran Sena Wasesa?

“Semi mengikuti kita sekarang ini. Nah, apa katamu? Akulah yang sekarang bertanya kepadamu apakah kau sedang menjajagi aku”

“Aku juga muak mendengar pertanyaan seperti itu” jawab Jlitheng, “Tetapi aku tetap pada pendirianku, Pangeran itu harus ditangkap. Jika kau berusaha untuk membatalkannya dengan isyarat kepada orang yang kau sebut adikmu yang barangkali sekarang membawa dua atau tiga orang kawan, aku tidak sependapat”

“Jadi kau benar-benar akan berbuat sesuai dengan perintah orang-orang Sanggar Gading?” bertanya Rahu?

“Ya Kita akan tahu, apakah yang mereka kehendaki dari Pangeran tua itu” desis Jlitheng.

“Kenapa kita tidak membebaskannya saja, kemudian kita hubungi langsung Pangeran itu?” bertanya Rahu.

“Tentu masalahnya bukan masalah yang sederhana. Jika kita gagal mempertahankan Pangeran itu, maka kita akan kehilangan segala kesempatan. Bahkan kita harus menyingkirkan diri dari tindakan orang-orang Sanggar Gading. Sementara niat mereka dengan menawan Pangeran itu dapat mereka lakukan diluar pengawasan kita” gumam Jlitheng.

Rahu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, aku tidak akan memberikan isyarat apapun juga kepada adikku”

“Tetapi apakah hal seperti itu sering kau lakukan?” Membatalkan usaha yang dilakukan oleh orang-orang Sanggar Gading?” bertanya Jlitheng.

“Tidak terlalu sering. Tetapi karena sekarang masalahnya menyangkut seorang Pangeran, maka aku dapat mengambil satu sikap Biasanya kami hanya sekedar mencari dukungan dana untuk kepentingan Sanggar Gading tanpa menyentuh orang-orang penting apalagi seorang Pangeran?”

Jlitheng mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia bertanya, “Tetapi sekali-kali pernah juga kau lakukan? Meskipun tidak terlalu sering?”

“Ya” jawab Rahu, “dalam keadaan yang memaksa aku telah berusaha menggagalkan rencana orang-orang Sanggar Gading dengan memberikan keterangan kepada Semi. Tetapi Semi pun mengerti bahwa kegagalan itu jangan menumbuhkan kecurigaan kepada orang dalam”

Jlitheng mengangguk-angguk. Tetapi kali ini ia tidak ingin rencana orang-orang Sanggar Gading untuk mengambil orang yang dikehendaki oleh Daruwerdi itu gagal. Ia harus mengetahui siapakah orang itu. Baru kemudian ia akan menentukan sikap.

Ternyata Rahu tidak berkeberatan meskipun mungkin ia harus mempertanggung jawabkan kepada pimpinannya, bahwa ia tidak dapat mengatasi rencana yang tumbuh di dalam lingkungannya, dan justru menyangkut kepada seorang Pangeran.

Dalam beberapa hal Rahu pun telah mendengar hubungan Cempaka dengan orang yang tinggal di daerah Sepasang Bukit Mati. Ia pun mendengar serba sedikit, bahwa orang yang berada di daerah Sepasang Bukit Mati itu mempunyai jalur hubungan dengan pusaka yang masih belum diketemukan. Tetapi yang diketahuinya ternyata sangat sedikit. Namun yang sedikit itu ternyata telah mendorongnya untuk menyetujui pendapat Jlitheng,

“Jika kemudian terjadi sesuatu dengan Pangeran itu, maka mungkin aku akan mendapat hukuman pula” berkata Rahu di dalam hatinya, “Tetapi jalan ini agaknya akan membawa aku kepada sebuah pusaka yang mungkin penting sekali bagi Demak”

Meskipun keduanya kemudian tidak sempat lagi berbicara meskipun berbisik, namun keduanya seolah-olah telah menemukan jalan yang sesuai, meskipun mungkin pada saat-saat terakhir mereka akan menentukan jalan mereka masing-masing.

Dalam gelapnya malam, maka sekelompok orang-orang Sanggar Gading itu pun menyusup semakin dalam ke jantung Kota Raja. Jalan yang mereka tempuh harus diingat sebaik-baiknya oleh setiap orang yang ikut serta di dalam kelompok itu. Dalam keadaan yang gawat, mungkin sekali mereka harus berpisah dan berpencar. Tetapi mereka harus dapat menemukan jalur jalan keluar dan berkumpul kembali di Sendang Gambir. Tetapi bagi mereka yang sudah mengenal dengan haik sudut-sudut di Kota Raja maka bagi mereka tidak terlalu banyak kesulitan jika mereka terpisah dari kawan-kawan mereka yang lain.

Rahu adalah salah seorang yang mengenal jalan-jalan di Kota Raja dengan sebaik-baiknya Sedangkan Jlitheng pun mengenalnya pula, meskipun tidak sebaik Rahu. Karena Rahu memang membekali dirinya dengan pengenalan yang luas atas berbagai macam keadaan. Termasuk jalan-jalan yang menyusup diantara rumah-rumah dan istana-istana besar di seluruh Kota Raja. Bahkan Rahu hampir mengenal setiap pintu di seluruh Kota.

Karena itu, maka ketika mereka memasuki jalan yang langsung menuju ke tempat yang mereka tuju, Rahu segera meyakini, istana siapakah yang akan mereka datangi.

“Di ujung jalan ini ada sebuah istana” berkata Sanggit Raina kepada para pengikutnya dengan perlahan-lahan tetapi cukup jelas, “Kita akan memasuki istana itu. Kita akan menghindari korban sejauh-jauh dapat kita lakukan. Karena itu, maka kita harus berbuat dengan hati-hati. Orang-orang kita sudah terlalu banyak menjadi korban. Mungkin karena pokal mereka sendiri di padang kematian, tetapi juga karena tugas-tugas yang berat”

Para pengikutnya mendengarkan dengan saksama. Sementara itu Sanggit Raina berkata selanjutnya, “Kita tidak akan memasuki regol. Kita akan memasuki istana itu dari segala penjuru. Kita menyergap para penjaga Mereka akan kita lucuti dengan cepat dan kita ikat pada pohon-pohon sawo yang terdapat di halaman istana itu. Baru kemudian kita memasuki istana dan mengambil Pangeran penghuni istana itu”

Semua orang hanya mendengarkannya. Tidak ada yang bertanya. Tidak ada yang memberikan pendapatnya. Perintah itu sudah cukup jelas, sementara orang-orang Sanggar Gading tidak perlu mengetahui, untuk apa mereka melakukannya.

Dengan hati-hati sekelompok orang Sanggar Gading itu mendekati sebuah istana yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan beberapa istana yang lain. Di halaman depan terdapat dua batang pohon sawo kecik yang besar dan rindang.

Dengan isyarat Sanggit Raina memerintahkan orang-orangnya memencar mengelilingi istana itu. Ia sendiri dengan Cempaka dan dua orang lainnya, bersiap-siap untuk menyergap para penjaga di regol meskipun mereka tidak akan mengetuk pintu regol. Tetapi seperti yang lain, mereka pun akan meloncat dan langsung menguasai para penjaga dan mengikat mereka seperti yang akan dilakukan oleh orang-orang Sanggar Gading yang lain, apabila mereka menjumpai para pengawal.

Orang-orangnya itupun telah mendapat pesan isyarat apakah yang harus mereka perhatikan. Jika mereka mendengar suara burung hantu, berarti bahwa mereka harus memasuki halaman istana. Tetapi jika yang terdengar suara burung kedasih, mereka harus meninggalkan istana Itu.

Sejenak Sanggit Raina menunggu. Ia pun kemudian dengan sangat hati-hati mendekati regol istana yang diputari dengan dinding yang cukup tinggi. Tetapi yang masih akan dapat diloncati oleh orang-orang Sanggar Gading yang cukup terlatih.

Telinga Sanggit Raina yang tajam pun kemudian menangkap suara desah orang yang beringsut di balik regol. Nampaknya satu dua orang penjaganya masih terjaga sambil duduk bersandar pintu regol.

Dengan isyarat Sanggit Raina memberikan tanda kepada Cempaka agar ia menunggu. Sementara Sanggit Raina sendiri telah bersiap untuk meloncat masuk di sebelah regol, sehingga ia akan langsung dapat menguasai para penjaganya.

Beberapa saat suasana menjadi tegang. Setiap orang menunggu isyarat yang akan diberikan oleh Sanggit Raina, sementara Sanggit Raina sendiri sudah siap untuk meloncat.

Cempaka dan dua orang lainnya telah bersiap pula. Dengan hati yang berdebar-debar mereka menunggu isyarat pula.

Ketika saatnya sudah tiba menurut perhitungan Sanggit Raina, maka di dalam kelamnya malam, terdengar suara burung hantu merobek sunyi.

Hampir bersamaan dengan itu, Sanggit Raina sendiri telah meloncati dinding halaman disusul oleh Cempaka dan dua orang pengikutnya, sementara di bagian lain beberapa orang telah berloncatan masuk pula.

Suara burung hantu itu memang telah menarik perhatian.

Sementara itu, dua orang penjaga yang berada di regol halaman itupun terkejut ketika tiba-tiba saja seseorang telah meloncat berdiri beberapa langkah dari padanya.

Dengan sigapnya para penjaga itu pun bangkit berdiri. Dengan tangkasnya pula keduanya telah mengacukan senjata mereka. Namun dalam pada itu, mereka melihat tiga orang telah menyusul pula.

Tidak ada kesempatan untuk membunyikan kentongan. Karena itu, maka tiba-tiba saja terdengar salah seorang dari keduanya berteriak nyaring, “Para pengawal, bersiaplah”

Suaranya terputus ketika Sanggit Raina telah meloncat menyerang. Namun penjaga itu sempat mengelak. Bahkan dengan satu putaran yang cepat, penjaga itu telah menyerangnya kembali.

Cempaka dan dua orang kawannya pun telah melangkah mendekat. Sementara itu, penjaga yang lain pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun telah menyambung teriakan kawannya justru lebih nyaring, “Bersiaplah, kita akan bertempur”

Tetapi pengawal itu pun tidak dapat melanjutkan kata-katanya Cempaka pun telah menyerangnya pula dengan cepatnya. Tetapi serangannya itupun tidak langsung dapat menikam jantung.

“Menyerahlah” geram Sanggit Raina. Kami adalah pembunuh-pembunuh. Tetapi jika kalian menyerah, kalian tidak akan kami bunuh. Kami hanya akan mengikat kalian pada pohon sawo itu”

“Persetan” geram para penjaga.

Namun ternyata bahwa keempat orang yang memasuki regol itu memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga sejenak kemudian mereka seolah-olah telah tersudut tanpa dapat bergerak.

Namun dalam pada itu, ternyata suara kedua penjaga itu telah didengar oleh kawan-kawannya. Beberapa orang telah berlari-lari menuju ke regol halaman itu.

Tetapi pada saat yang bersamaan, maka halaman belakang istana itupun telah dirayapi oleh beberapa orang murid Sanggar Gading. Mereka dengan tergesa-gesa telah mendekati istana dari arah belakang.

Sanggit Raina ternyata tidak segera dapat menguasai para penjaga. Ketika dua orang penjaga telah sampai ke regol, maka iapun berkata, “Tahan mereka. Aku akan memasuki istana itu”

Ketika Sanggit Raina meloncat meninggalkan regol, beberapa orang pengawal nampak dalam keremangan malam. Tetapi orang-orang Sanggar Gading yang sudah berloncatan masuk itupun telah menyergapnya, sehingga sejenak kemudian telah terjadi pertempuran di beberapa tempat di dalam halaman istana itu.

Cempaka yang melihat kakaknya telah berlari ke pintu butulan itupun segera menyusulnya dengan, meninggalkan murid-murid Sanggar Gading yang lain, yang segera berusaha menyesuaikan diri.

Sanggit Raina yang kemudian disusul oleh Cempaka tertegun ketika mereka melihat Rahu pun telah berlari-lari ke pintu butulan itu pula disusul oleh Bantaradi yang menyebut dirinya sehari-hari di padukuhannya dengan Jlitheng.

“Ikut aku” Sanggit Raina tidak pikir panjang. Ia pun memperhitungkan bahwa di dalam istana itu tentu ada pula beberapa pengawal dalam yang bertugas.

Sementara itu, maka Sanggit Raina tidak sabar menunggu pintu itu dibuka. Ia tidak berhasil menguasai para penjaga dengan diam-diam. Karena itu, maka ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia harus mempergunakan kekerasan untuk menguasai seluruh isi istana.

Dengan kakinya. Sanggit Raina menghentakkan daun pintu yang masih tertutup. Terdengar suaranya berderak keras sekali. Namun Sanggit Raina tidak perlu mengulanginya lagi. Pintu itu sudah pecah berserakan.

Rahu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Jika demikian, aku tidak akan memberikan isyarat apapun juga kepada adikku”

Dengan loncatan pendek, Sanggit Raina memasuki pintu butulan. Seperti yang diperhitungkan, maka beberapa orang pengawal telah menyongsongnya. Namun dalam pada itu. Cempaka, Rahu dan Jlitheng pun telah ada di dalam pula.

Sesaat kemudian telah terjadi pertempuran. Para pengawal yang terpilih itu pun telah melawan dengan gigihnya,

Seperti yang sudah didengar oleh setiap orang Sanggar Gading, bahkan oleh kelompok-kelompok yang lain, maka para pengawal di istana itu sebenarnyalah pengawal-pengawal yang terpilih ilmu yang tinggi. Itulah sebabnya, maka tidak setiap orang Sanggar Gading boleh mengikuti tugas yang berat itu.

Demikianlah, maka pertempuran telah terjadi d beberapa tempat di halaman istana itu. Bahkan kemudian di dalam istana itu pula. Beberapa orang pengawal harus bertempur melawan orang-orang Sanggar Gading yang garang. Namun karena mereka pun cukup terlatih, maka mereka pun telah melawan dengan sengitnya.

Meskipun demikian, tetapi bahwa kekasaran orang-orang Sanggar Gading telah membuat para pengawal menjadi berdebar-debar. Hentakan senjata dan kadang-kadang gerak dan liar, membuat para pengawal harus berhati-hati.

Pertempuran telah terpaksa membakar halaman itu. Darah pun tidak dapat lagi terbendung, menitik dari luka-luka yang menganga. Satu dua orang pengawal dan orang-orang Sanggar Gading telah mulai tersentuh senjata.

Dalam pada itu, maka Sanggit Raina bersama Cempaka. Rahu dan Jlitheng telah bertempur dengan dahsyatnya di ruang dalam istana yang tidak terlampau besar itu.

Seperti yang sudah diperhitungkan, maka istana yang tidak terlalu besar dibandingkan dengan istana-istana kepangeranan yang lain itu, telah dijaga oleh sekelompok pengawal yang kuat Orang-orang Sanggar Gading yang terbaik, harus berjuang dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk dapat menguasai para pengawal.

Namun jumlah orang-orang Sanggar Gading yang lebih banyak dari para pengawal, telah berhasil mendesak mereka. Satu dua orang telah terluka dan tidak mampu lagi melawan.

Tetapi dalam pada itu, di ruang dalam. Sanggit Raina. Cempaka, Rahu dan Jlitheng harus bertempur dengan gelisahnya. Para pengawal di ruang dalam itu, ternyata adalah benar-benar orang pilihan.

Dengan segenap kemampuan mereka bertahan. Mereka bertempur tanpa gentar, meskipun orang-orang Sanggar Gading adalah orang-orang yang kasar dan garang.

Namun, sejenak kemudian beberapa orang Sanggar Gading yang lain telah masuk pula lewat pintu yang sudah menganga. Mereka yang sudah melumpuhkan lawan-lawannya telah berloncatan menyusui memasuki ruang dalam istana. Meskipun mula-mula, mereka terhenti karena kekaguman mereka melihat perabot istana itu, namun kemudian mereka pun telah berusaha melibatkan diri kedalam pertempuran itu.

Sementara orang-orangnya memasuki ruang dalam, maka tiba-tiba saja Sanggit Raina telah menyelinap. Ia pun kemudan memasuki ruang depan dan langsung menuju ke sebuah bilik yang tertutup rapat

“Pangeran” desis Sanggit Raina diluar pintu, “pangeran tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Sebaiknya Pangeran menyerah dan keselamatan Pangeran akan aku pertanggung jawabkan”

Tidak terdengar jawaban. Karena itu sekali lagi terdengar Sanggit Raina, “Pangeran, sebelum para pengawalmu terbunuh, bukalah pintu. Akhir dari pertempuran ini sudah pasti. Jika Pangeran tidak melawan, maka para pengawal Pangeran akan selamat. Mungkin ada satu dua yang terluka. tetapi itu sudah wajar sekali bagi para pengawal yang menggenggam senjata telanjang di tangannya”

Sejenak Sanggit Raina menunggu. Kemudian terdengar jawaban dengan suara yang dalam, “Siapa kau?”

“Sanggit Raina. orang Sanggar Gading”

“Aku tidak mengenalmu” sahut suara dari dalam.

“Tentu. Pangeran tidak mengenal aku. Tetapi bukalah pintu sebelum istana ini menjadi karang abang” desak Sanggit Raina.

Sejenak ruang itu menjadi hening. Namun kemudian terdengar pintu berderit.

Perlahan-lahan pintu itu pun terbuka. Sanggit Raina berdiri tegak dengan senjata di tangannya teracu kepada seseorang yang berdiri di muka pintu sambil memegang selarak pintu Seorang gadis.

Sanggit Raina menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku mohon perkenan puteri untuk menghadap ayahanda”

Gadis itu mengerutkan keningnya. Namun terdengar suara seorang yang sedang berbaring, “Biarlah ia masuk”

Sanggit Raina termangu-mangu sejenak. Namun dengan senjata yang teracu iapun melangkah memasuki bilik itu.

Demikian kakinya melangkah, maka iapun melihat gadis yang membuka pintu itu berlari memeluk seorang perempuan yang berdiri di sudut ruang itu dengan ketakutan.

Perempuan itu berusaha menahan tangis. Sambil mengucap rambut gadis itu. ia berkala, “Sudahlah puteri. Selalu kebijaksanaan ada di tangan ayahanda”

Perempuan yang gemetar itu memandang Sanggit Raina yang mendekati pembaringan. Kemudian dengan suara datar ia berkata, “Pangeran. Aku mohon pengertian Pangeran, agar tugasku dapat selesai dengan cepat. Juga untuk kepentingan Pangeran dan para pengawal”

Orang yang berbaring itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kau datang pada saat aku tidak dapat memberikan perlawanan. Mungkin kau memang sudah memperhitungkannya”

“Kami mohon maaf. Kami memang memperhitungkan keadaan ini Pangeran. Karena kami tahu, bahwa untuk dapat mengalahkan Pangeran dalam keadaan yang siap menghadapi lawan, diperlukan kekuatan yang tidak ada taranya”

“Bawalah aku kepada para pengawalku. Tetapi dengan janji seorang laki-laki, bahwa kalian tidak akan membunuh mereka”

“Jika hal itu segera kita lakukan, maka kemungkinan untuk tidak mengurangi seorang pengawal pun masih ada. meskipun tentu beberapa orang pengawal Pangeran telah terluka.

“Bawalah aku kepada mereka” desis Pangeran yang sedang sakit itu.

Sanggit Raina pun kemudian menyarungkan pedangnya, ia membuka selimut Pangeran itu selelah ia yakin bahwa Pangeran yang sakit itu tidak bersenjata. Kemudian menolongnya bangkit dan membantunya berjalan menuju ke ruang dalam.

Ketika Sanggit Raina dan Pangeran yang sedang sakit itu muncul di ruang dalam, maka tiba-tiba saja pertempuran itu pun terhenti. Meskipun masing-masing telah melangkah surut tetapi senjata mereka masih tetap dalam genggaman.

“Hentikan perlawanan” terdengar perintah Pangeran yang sedang sakit itu, “Orang ini yang agaknya pemimpin perampok yang memasuki rumah kita, berjanji sebagai seorang laki-laki”, bahwa kalian tidak akan diusik”

Para pengawal termangu-mangu. Namun mereka tidak melanggar perintah itu.

“Nah, sekarang katakan” berkata Pangeran itu kepada Sanggit Raina, lalu, “Apakah yang kau kehendaki?”

“Pangeran” jawab Sanggit Raina singkat.

“Aku?” bertanya Pangeran itu.

“Ya Pangeran. Aku memerlukan Pangeran”

Pangeran itu termenung sejenak, sementara gadis yang selalu mengikutinya tiba-tiba berjongkok dihadapannya sambil menangis, “Ayahanda. Jangan pergi”

Pangeran itu termenung. Dibelainya rambut anaknya yang berjongkok dihadapannya. Namun ketika sekilas dipandanginya ruangan itu, ia melihat orang-orang yang tidak dikenal berdiri bertebaran dengan senjata di tangan. Lebih banyak dari pengawal-pengawalnya. Bahkan Pangeran yang sedang sakit itupun dapat membayangkan, bahwa pengawal-pengawalnya di halaman tentu sudah tidak mampu lagi membendung orang-orang yang tidak dikenalnya itu, sehingga mereka memasuki ruangan dalam.

“Ayahanda” gadis itu menangis semakin keras.

Namun dalam pada itu, Nrangsarimpat yang telah berada di dalam ruangan itu pula tertawa sambil melangkah maju Tiba-tiba saja ia berjongkok disamping gadis itu sambil berdesis, “Jangan menangis puteri. Meskipun ayahanda pergi, banyak orang yang akan bersedia menemanimu disini”

Puteri itu beringsut. Namun kemudian Nrangsarimpat sambil tertawa telah memegang lengan puteri itu.

Tetapi tiba-tiba saja Nrangsarimpat terkejut. Ia sadar, bahwa tiba-tiba saja ia telah terlempar karena hentakkan di dadanya. Ternyata kemarahan Pangeran yang sakit itu tidak tertahankan lagi, sehingga kakinya telah menghantam dada Nrangsarimpat.

Terasa dada itu menjadi sesak. Tetapi orang itu ternyata tangkas pula. Dengan melenting ia bangkit berdiri sambil mengumpat. Suaranya melengking tinggi. Kesan senyum dan tawanya telah lenyap dari wajahnya

Namun yang menggeram kemudian adalah Sanggit Raina, “Kau gila Nrangsarimpat“ Lalu katanya kepada Pangeran yang masih menggeretakkan giginya itu, “Maaf Pangeran. Aku akan mempertanggung jawabkan keselamatan keluarga Pangeran dan para pengawal. Tetapi aku mohon Pangeran bersedia pergi bersama kami”

Terdengar Nrangsarimpat menggeram. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu dihadapan Sanggit Raina. Ia mengerti apa yang dikatakan oleh Sanggit Raina bukanlah pura-pura. Jika ia melindungi anak buahnya ia pun bertindak tanpa ragu-ragu. Tetapi jika ia ingin menghukumnya, maka ia pun melakukannya seperti yang dikehendakinya.

Sejenak ruangan itu dicengkam oleh ketegangan. Pangeran yang sedang sakit itu tidak dapat membuat pertimbangan lain. Jika ia menolak, maka akibatnya akan sangat buruk bagi para pengawalnya. Bahkan juga bagi keluarganya, lebih-lebih anak gadisnya yang sedang meningkat dewasa

Tetapi jika ia membiarkan dirinya dibawa, ia tidak tahu. kemana dan untuk apa. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atas dirinya.

“Pangeran tidak usah menyebut siapa aku, sesuai dengan pengakuanku, dihadapan para pengawal” berkata Sanggit Raina, “karena itu pengenalan Pangeran atasku dan kawan-kawanku. biarlah Pangeran bawa bersama orang-orangku. Sekali lagi, aku akan mempertanggung jawabkan keselamatan Pangeran dan seisi istana yang akan Pangeran tinggalkan, kecuali yang sudah terlanjur terluka atau barangkali terbunuh dalam pertempuran yang baru saja terjadi, karena mungkin ada juga orang-orangku yang akan terpaksa aku tinggalkan, karena ia sudah terbunuh pula”

Pangeran itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya puterinya yang kemudian berpegangan lututnya, sementara embannya telah berjongkok pula disampingnya.

“Sudahlah” desis Pangeran itu sambil mengusap kepala puterinya, “apaboleh buat. Biarlah aku pergi bersama orang-orang ini. Mudah-mudahan aku akan dapat kembali lagi ke istana ini”

“Ayahanda” desis puterinya.

“Barangkali jalan ini adalah jalan yang lebih baik aku tempuh. Aku masih percaya, bahwa orang ini adalah seorang yang jantan, yang kata-katanya dapat dipercaya. Nampaknya ia bukan seorang perampok yang sekedar menghendaki harta dan benda, tetapi tentu ada kepentingan lain yang mungkin akan dapat aku selesaikan”

“Tetapi, bagaimana jika ayahanda meninggalkan aku sendiri?” tangis puterinya.

Sejenak Pangeran itu tertegun. Gadis itu sudah tidak beribu lagi. Ia adalah ayah-bundanya yang menjadi tempatnya bergantung. Tetapi Pangeran itu melihat bayangan yang lebih buruk akan dapat terjadi atas anak gadisnya, jika ia mengadakan perlawanan. Meskipun nampaknya pemimpin dari orang-orang yang datang itu adalah seorang laki-laki yang dapat dipercaya dalam ujudnya tersendiri. Namun, orang-orangnya bukanlah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat serupa.

Karena itu, maka katanya, “Sudahlah anakku. Lepaskan aku pergi. Aku ingin juga melihat, apakah sebenarnya keinginan mereka”

“Tetapi, aku takut ayahanda” tangis anak gadisnya.

“Berdoalah. Mudah-mudahan aku akan segera kembali” jawab ayahandanya.

Tetapi tangis puterinya tidak mereda. Karena itu, maka perlahan-lahan Pangeran itu melepaskan tangan anak gadisnya sambil berdesis, “Cobalah menguasai dirimu sendiri anakku”

Puteri itu meronta ketika embannya menahannya. Namun tiba-tiba saja ia tertegun ketika ia mendengar orang yang menolong ayahnya berjalan itu berkata, “Puteri, waktuku hanya sedikit. Jangan memaksa kami mengambil jalan lain yang akan cepat menyakiti hati puteri”

Pangeran yang sedang sakit itulah yang kemudian menggeram. Namun Sanggit Raina telah mendorongnya sambil berkata, “Marilah Pangeran. Kuda bagi Pangeran telah tersedia. Aku sendiri akan menjaga agar Pangeran yang lemah tidak terjatuh jika kuda itu berpacu. Tetapi untuk beberapa puluh tonggak kita akan berjalan agar kita tidak mengejutkan dan membangunkan seisi kota” kemudian kepada puteri yang masih menangis itu Sanggit Raina berkata, “Ingat puteri, ayahanda puteri ada bersama kami. Jangan berbuat sesuatu yang akan dapat mengancam keselamatan ayahandamu sendiri”

“Oh” suara puteri itu bagaikan terputus di kerongkongan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melihat ayahandanya berjalan dipapah oleh orang yang nampaknya pemimpin dari sekelompok orang yang telah memasuki istananya.

Sejenak kemudian, maka ayahandanya itu telah menghilang di balik pintu butulan. Satu-satu orang-orang yang memasuki istananya itupun melangkah surut dan lenyap pula ke dalam gelapnya malam.

Demikian orang terakhir dari sekelompok orang yang memasuki istana itu lenyap, maka puteri itu pun menjatuhkan kepalanya ke dada perempuan yang selalu mendampinginya. Tangisnya tidak tertahan lagi melontar seperti tumpahnya air dari sebuah bendungan yang pecah.

Beberapa orang pengawal istana itu berdiri termangu-mangu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak dapat berlari mengejar orang-orang yang membawa Pangeran yang sedang sakit itu, meskipun mereka rela mengorbankan jiwa mereka. Karena dengan demikian, bukan saja mereka yang terancam jiwanya, tetapi juga Pangeran itu.

Seorang pengawal yang sudah berusia setengah umur kemudian mendekati emban yang masih memeluk momongannya, yang menangis itu sambil berkata, “Bawalah puteri ke pembaringannya. Mungkin ia memerlukan istirahat. Jika mungkin biarlah puteri tidur barang sejenak”

Embannya memandang pengawal itu sekilas. Kemudian ia pun mengangguk kecil. Namun ia berkata kepada diri sendiri di dalam hati, “Maksudku juga begitu. Tetapi puteri ini sedang berduka, sehingga sulit untuk menenangkannya”

Meskipun demikian, emban itu mencoba juga untuk membujuknya. Namun untuk beberapa saat puteri itu masih tetap menangis tanpa beranjak dari tempatnya.

Dalam pada itu, para pengawal pun kemudian keluar pula dari ruangan itu, kecuali dua orang pengawal dalam yang kemudian berdiri di muka pintu butulan. Bagaimanapun juga, mereka masih harus tetap berhati-hati. Mungkin yang terjadi itu baru sebuah permulaan yang masih akan disusul oleh peristiwa-peristiwa lain yang lebih kasar dan liar.

Ternyata, diluar para pengawal harus menolong tiga orang kawan mereka yang terluka. Seorang dari mereka terluka parah. Sementara itu seorang dari kelompok yang memasuki istana itu. juga telah terluka parah. Bahkan tidak ada lagi kemungkinan untuk dapat diselamatkan. Orang itu sudah berada dalam keadaan pingsan sementara darahnya terlalu banyak mengalir.

Dengan segera para pengawal yang terluka itupun mendapat perawatan seperlunya sementara seorang lawan yang sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat hidup itu dibaringkannya di serambi gandok. Nyawa orang itu, tidak akan dapat bertahan sampai ayam jantan berkokok menjelang fajar.

Dalam pada itu, maka emban pemomong puteri yang menangis itu akhirnya berhasil membujuknya memasuki bilik tidurnya dan membawanya duduk di pembaringan.

“Puteri, silahkan untuk berbaring. Tentu puteri mengalami kelelahan lahir batin” embannya mempersalahkan.

Tetapi momongannya itu tidak menghiraukannya Ia masih saja duduk menundukkan kepalanya sambil tersedu-sedu.

“Puteri” berkata emban itu, “ayahanda tentu tidak akan lama. Yang dilakukan adalah satu dari sifat-sifat kesatria yang dimiliki oleh ayahanda puteri. Dengan demikian, maka puteri jangan terlalu bersedih. Ternyata puteri memang tidak sendiri. Selain aku, maka para pengawal akan tetap setia melindungi puteri”

Puteri itu masih menangis. Disela-sela isaknya terdengar ia berkata, “Bibi, apa yang dapat mereka lakukan tanpa ayahanda. Selagi ayahanda masih ada disini, mereka tidak mampu lagi berbuat apa-apa”

“Itu justru atas perintah ayahanda karena ayahanda mempunyai perhitungan tersendiri” jawab embannya, “tetapi puteri, perhitungan ayahanda adalah perhitungan seorang yang mumpuni. Apalagi ayahanda puteri sedang dalam keadaan sakit, sehingga tidak mungkin dapat berbuat sesuatu. Yang dipilih tentu yang terbaik, bukannya bagi Pangeran tetapi tentu juga bagi puteri”

Puteri itu mengusap matanya Tetapi agaknya masih terasa luka yang sangat pedih di hatinya.

Selagi emban di istana Itu sedang sibuk menenangkan hati puteri yang ditinggalkan ayahandanya itu, maka Pangeran yang sedang sakit itu telah dipapah oleh Sanggit Raina. Kadang-kadang ia harus mendesaknya agar Pangeran itu dapat berjalan lebih cepat

“Waktu kami tidak banyak Pangeran” desis Sanggit Raina.

“Tidak akan ada gunanya kalian membawa aku. Besok prajurit Demak tentu sudah menemukan padepokanmu” geram Pangeran itu.

“Tidak Pangeran, bukankah hanya Pangeran saja yang akan mungkin mengetahui bahwa aku adalah orang Sanggar Gading?” jawab Sanggit Raina.

“Tentu ada orang-orang yang dengan bangga mengatakannya pula. Atau satu dua orangmu yang terluka, yang akan dapat berbicara tentang kau dan orang-orangmu, berkata Pangeran itu pula.

“Pangeran salah hitung. Semua yang terluka kembali bersama kami. Seorang yang tidak akan dapat hidup telah kami tinggalkan. Tetapi tentu tidak akan dapat keluar dari mulutnya pengakuan seperti yang Pangeran katakan”

“Ternyata kalian mempunyai perhitungan yang cermat Apa yang sebenarnya kalian kehendaki?” bertanya Pangeran itu.

Sanggit Raina menarik nafas panjang. Kemudian jawabnya, “Sudahlah. Nanti Pangeran akan mengetahuinya. Kita akan segera keluar dari kota. Kuda-kuda kita sudah menunggu. Kita akan segera menempuh perjalanan. Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi akan sangat melelahkan bagi Pangeran yang sedang sakit”

Pangeran itu menggeram. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat apapun juga. Namun ia mulai menyadari sepenuhnya, bahwa yang dihadapinya saat itu adalah sebuah kelompok orang-orang kasar, orang-orang berilmu, tetapi juga orang-orang yang mempunyai perhitungan atas tingkah-lakunya. Karena itu. maka hatinya menjadi semakin berdebar-debar.

Di paling belakang dari iring-iringan yang menyusup diantara jalan-jalan kecil kota menuju ke tempat kuda mereka disembunyikan adalah Rahu dan Jlitheng. Dengan nada datar Jlitheng berbisik, “Apakah tidak mungkin puteri yang ditinggalkan itu, atau pengawalnya melaporkan hal ini kepada para prajurit?”

“Kita membawa Pangeran yang sakit itu” jawab Rahu, “Tentu mereka tidak ingin Pangeran ini mengalami sesuatu”

Jlitheng menarik nafas dalam-dalam, ia pun sependapat, bahwa orang-orang yang ditinggalkan di istana tidak akan berani melaporkan peristiwa yang terjadi itu dengan segera. Jika para prajurit kemudian berpencar mengejar orang-orang yang telah membawa Pangeran yang sakit itu. maka nasibnya justru akan sangat pahit. Mungkin ia akan dibunuh dan mayatnya ditinggalkan begitu saja sebelum sekelompok orang yang membawanya berusaha melarikan diri.

“Rahu” bisik Jlitheng pula, “seandainya kau bermaksud menggagalkannya, apakah kau mempunyai cara? Bukankah nasib Pangeran itu juga menjadi taruhannya”

“Tidak sekarang” berkata Rahu di telinga Jlitheng, “Tetapi sudah barang tentu saat kita mulai memasuki istana itu Justru sebelum mereka sempat mendekati Pangeran yang sedang sakit itu”

“Lalu apakah yang akan kau kerjakan kemudian?” bertanya Jlitheng?

“Tugasku menjadi semakin berat. Aku harus berusaha melindunginya selama ia berada di padepokan Sanggar Gading” jawab Rahu

“Tetapi sebentar lagi, Pangeran itu tentu tidak lagi berada di Sangar Gading” desis Jlitheng.

“Apakah kau mengetahui?” tiba-tiba saja Rahu bertanya.

“Dugaanku. Buat apa ia berada di Sanggar Gading? Apakah yang diperlukan oleh Yang Mulia timpang itu dari Pangeran yang sedang sakit?” desis Jlitheng.

“Dugaanmu memang kuat. Kau mempunyai penggraita yang sangat tajam. Tetapi tentu sekedar dugaan dan perhitungan. Kau tentu sudah menjelajahi tempat-tempat yang berhubungan dengan daerah jelajah orang-orang Sanggar Gading disaat terakhir. Aku sudah memperhitungkan, bahwa kau tidak secara kebetulan menolong Cempaka diperjalanan saat itu. Dan aku pun sudah menduga, bahwa kau lelah menjelajahi daerah Sepasang Bukit Mati” sahut Rahu berbisik.

Jlitheng tersenyum. Katanya, “Panggraitamu lah yang tajam. Tetapi aku tidak perlu berbohong lagi. justru karena kau memiliki tanda bulan dan matahari itu, meskipun setelah kita menganut jalan kita sendiri-sendiri, kita dapat saling mencurigai.

“Terserahlah. Tetapi yang jelas, tugasku menjadi sangat berat. Jika terjadi sesuatu atas Pangeran itu di Sanggar Gading, maka aku tidak akan dapat mencuci tangan. Apalagi jika Pangeran itu diserahkan kepada pihak lain karena kepentingan yang khusus, sehingga aku akan menjadi semakin sulit untuk dapat melindunginya” Rahu berhenti sejenak, lalu, “Mudah mudahan Semi dapat mengambil sikap”

“Dimana ia sekarang?” bertanya Jlitheng.

“Ia mengikuti kita. Ia tahu apa yang telah terjadi. Tetapi ia selalu menunggu isyaratku” jawab Rahu. lalu, “Tetapi aku tidak tahu apakah ia akan dapat mengikuti perkembangan berikutnya dari Pangeran yang malang itu. Jika Pangeran itu meninggalkan Sanggar Gading tanpa diketahuinya, maka mungkin ia akan kehilangan jejak. Sementara setiap kali aku selalu meragukan, apakah aku dapat selalu memberikan keterangan kepadanya, meskipun sampai saat ini, ia dapat mengikuti segala perkembangan dengan baik”

Jlitheng tidak bertanya lagi. Kesempatan mereka menjadi semakin kecil untuk dapat berbicara tanpa didengar oleh orang lain, karena iring-iringan itu sudah mendekati lingkaran kota.

Seperti saat mereka memasuki kota, maka mereka pun tidak melewati gapura, meskipun pada saat-saat tenang gapura itu tidak selalu diawasi dengan ketat. Namun lebih baik bagi mereka untuk keluar lewat jalan-jalan setapak.

Demikianlah maka mereka pun segera meninggalkan kota menuju ke sendang Gambir, tempat mereka meninggalkan kuda-kuda mereka, ditunggui oleh orang-orang yang dianggap tidak begitu berarti dibanding dengan kawan-kawannya yang lain.

Dalam pada itu, Sanggit Raina pun kemudian mempersilahkan Pangeran yang sedang sakit itu untuk beristirahat. Katanya, “Kita akan menuju tempat tujuan justru setelah fajar. Tetapi kami mohon maaf Pangeran, agar Pangeran tidak menimbulkan persoalan bagi kami, maka kami mohon Pangeran sudi menukar pakaian Pangeran seperti pakaian kami”

Wajah Pangeran itu menegang. Dengan marah ia menggeram, “Kau menghina martabatku. Aku tidak pernah merasa diriku lebih tinggi dari martabat orang lain, karena setiap orang mempunyai martabat kemanusiaannya masing-masing. Tetapi yang kau katakan itu benar-benar telah menyinggung perasaanku”

“Aku mohon maaf. Tetapi tidak ada cara lain yang dapat kami tempuh Pangeran. Dan karena kami tidak ingin gagal akan tugas kami, maka kami terpaksa mohon dengan sangat, agar Pangeran sudi melakukannya” minta Sanggit Raina.

Pangeran yang sedang sakit itu mempunyai pengalaman yang sangat luas menghadapi berbagai macam orang dengan sifat-sifatnya. Karena itu, maka ia pun segera dapat mengenal pemimpin sekelompok orang yang telah mengambilnya itu. Meskipun ia nampaknya tetap ramah dan sopan, tetapi dibalik senyum dan anggukkan kepalanya penuh hormat itu tersimpan api yang setiap saat dapat menyala dan membakar korbannya.

Karena itu. Pangeran tua yang sedang sakit itu tidak dapat menolak lagi. Betapapun kemarahan membakar jantungnya namun ia pun kemudian terpaksa mengganti bajunya dengan baju yang tenyata telah disediakan oleh Sanggit Raina.

“Mungkin pakaian yang kami sediakan itu agak terlalu kecil atau agak terlalu longgar Pangeran, tetapi kami mohon Pangeran dapat memakainya” berkata Sanggit Raina

Pangeran itu tidak menjawab. Ia tidak membantah lagi. Dipakainya saja baju yang disediakan oleh Sanggit Raina itu. betapapun batinnya bergejolak

“Pangeran akan mempergunakan kuda kawan kami yang kami tinggalkan di istana, karena ia tidak akan dapat hidup lagi. Aku akan menjaga Pangeran di sepanjang jalan menuju ke Padepokan kami. Sementara itu, kawan-kawan kami akan berpencar. Bersama kita adalah adikku. Cempaka” berkata Sanggit Raina kemudian.

Pangeran itu sama sekali tidak menjawab. Ia tidak dapat berbuat apapun juga, kecuali memenuhi segala permintaan orang-orang yang telah membawanya itu.

Namun sekali-kali terdengar Pangeran itu menggeram. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka yang terjadi atasnya benar-benar satu penderitaan.

Tetapi ia tidak dapat menentang keharusan yang terjadi atasnya. Dan Pangeran itu pun tidak dapat menolak, bahwa kemampuan ilmunya yang tiada taranya, tidak berarti sama sekali dihadapan Yang Maha Pencipta. Kemampuannya yang seakan-akan tidak terlawan itu, hanya sebutir debu yang sangat kecil di luasnya langit dan bumi.

Ketika Yang Maha Pencipta menghendakinya, maka ia benar-benar tidak dapat mempergunakan ilmunya. Sakit itu datang tanpa dapat dilawan dengan ilmunya yang bagi manapun juga. Bahkan berbagai macam obat sudah dicobanya. Tetapi tubuhnya masih saja terasa panas dan sangat lemahnya Seandainya ia memaksa diri untuk mengerahkan ilmunya pada keadaannya, maka justru tubuhnya sendiri akan dirusakkannya.

“Aku harus menahan diri” berkata Pangeran itu di dalam hatinya. Ia masih menunggu. Jika keadaannya berangsur baik. maka pada suatu saat ia mungkin masih akan mendapat kesempatan untuk mempergunakan ilmunya, melepaskan diri dari tangan orang-orang yang menyebut dirinya dari Sanggar Gading.

Tetapi sekali-kali terkilas pula keadaan keluarganya yang ditinggalkannya di istananya. Orang-orang Sanggar Gading itu akan dapat berbuat sekehendak hati mereka atas keluarganya. Bahkan mungkin, mereka akan dapat memaksakan kehendak mereka dengan mengancam anak gadisnya atau isi istananya.

Namun demikian. Pangeran itu tidak dapat menentang kehendak orang-orang yang membawanya.

Dalam pakaian yang dikenakannya kemudian, Pangeran yang sedang sakit itu masih sempat beristirahat sejenak. Betapa tubuhnya terasa sakit dan lemah. Jantung dan isi dadanya, serasa terbakar. Namun kadang-kadang tubuhnya terasa membeku sehingga tubuhnya itu bagaikan digoncang-goncang karena menggigil kedinginan.

Beberapa orang tabib telah mengobatinya. Tetapi perkembangan keadaannya terasa lambat sekali meskipun ada juga Kemajuannya. Sehingga akhirnya datang sekelompok orang dari Sanggar Gading yang menangkapnya justru saat ia tidak dapat melawan.

Ketika langit di ujung Timur menjadi kemerah-merahan, maka orang-orang Sanggar Gading itupun kemudian mempersiapkan diri mereka untuk menempuh perjalanan kembali ke padepokan mereka. Seperti saat mereka datang, maka mereka pun akan berpencar.

Demikian segala persiapan telah selesai, maka Sanggit Raina pun memberikan pesan sekali lagi kepada orang-orangnya. Dengan nada berat ia berkata, “Kita harus segera kembali. Tidak seorang pun boleh melakukan perbuatan apapun di perjalanan. Kita harus menyelamatkan tugas besar kita kali ini, tanpa menimbulkan persoalan-persoalan yang dapat mengganggu”

Semua orang mendengarkan dengan saksama

“Jika salah seorang dari kalian melanggar perintah ini, dan justru akan dapat menimbulkan gangguan, maka aku akan mengambil tindakan langsung terhadap kalian”

Tidak terdengar seorang pun yang berbicara. Bahkan berbisik pun tidak.

Namun dalam pada itu, Rahu melihat sikap yang mencurigakan pada Nrangsarimpat yang tersenyum-senyum sambil menggamit seorang kawannya. Ada semacam kesan yang kurang baik pada sikap itu. Karena itu, maka Rahu yang kemudian bergeser ke dekat Cempaka berbisik, “Kau lihat sikap Nrangsarimpat”

“Kenapa?” bertanya Cempaka.

“Ia tentu masih ingat kepada gadis yang tinggal di istana itu” desis Rahu.

“Gila” geram Cempaka.

“Apakah aku boleh bertindak?” bertanya Rahu.

“Jika ia melakukannya. Tetapi awasi orang gila itu” desis Cempaka tanpa berpaling kearah Nrangsarimpat, seolah-olah mereka sedang membicarakan masalah lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.

“Tetapi laporkan kepada Sanggit Raina, agar bukan akulah yang bersalah jika terjadi sesuatu”

“Aku akan bertanggung jawab. Orang itu memang selalu membuat kisruh Rencana besar ini tidak boleh gagal” geram Cempaka.

Rahu tidak menjawab. Ia pun kemudian beringsut pula di belakang Cempaka, sementara Sanggit Raina masih memberikan beberapa pesan, agar setia orang selalu berhati-hati di perjalanan.

“Tidak seorang pun boleh tahu. siapakah kalian. Rahasia kalian akan kalian bawa mati seandainya kalian menjumpai sesuatu di perjalanan” pesan Sanggit Raina.

Pangeran tua yang sedang sakit itu melihat, betapa kuatnya ikatan orang-orang Sanggar Gading itu. Karena itu, maka ia pun beranggapan, bahwa ikatan sekelompok orang-orang yang menyebut dirinya warga Sanggar Gading itu tentu bukan sekedar orang-orang yang melakukan kejahatan untuk merampok harta benda saja.

Ketika langit menjadi semakin cerah, maka sekelompok orang-orang Sanggar Gading itupun segera berpencar. Rahu yang berada diantara mereka bersama Jlitheng telah berbisik ke telinga anak muda itu, apa yang dilihat dan dikatakannya kepada Cempaka.

“Sudah ada ijin dari Cempaka. Dan ia akan mempertanggung jawabkan jika terjadi sesuatu. Kita tidak akan membiarkan perbuatan gilanya itu” desis Rahu.

“Apa kau yakin?” bertanya Jlitheng.

“Kita akan melihat. Jika kita sudah saling berpisah, maka kita akan melingkar dan kembali memasuki kota. Mungkin Nrangsarimpat telah melakukan sesuatu yang akan menyakitkan hati keluarga Pangeran yang malang itu.

Jlitheng mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah kita tidak akan dikejar batas waktu seperti saat kita berangkat?”

“Sanggit Raina tidak memberikan batas itu” desis Rahu kemudian.

Demikianlah, seperti yang dikatakan Rahu, maka kedua orang itu pun tidak langsung berpacu kembali ke padepokan Sanggar Gading.

Tetapi Jlitheng dan Rahu itupun kemudian melingkar kembali menuju ke Kota Raja. Mereka dibebani oleh kecurigaan atas tingkah laku Nrangsarimpat.

Jarak antara Sendang Gambir dan Kota Raja memang tidak jauh. Karena itu, maka mereka pun segera mendekati pintu untuk mengendap-endap dan merangkak-rangkak lagi lewat jalan-jalan setapak.

Namun mereka terhenti ketika dari kejauhan mereka melihat seorang berkuda kearah yang berlawanan. Dengan nada datar Rahu berdesis, “Semi”

Jlitheng mengerutkan keningnya. Ia pun melihat orang yang disebut adik Rahu itu semakin lama menjadi semakin dekat

Tetapi orang itu pun nampaknya heran melihat Rahu dan Jlitheng kembali. Karena itu justru kudanya berlari semakin cepat mendekati kedua orang yang sudah berhenti dan menepi.

“Kenapa kalian kembali” bertanya orang itu.

Rahu memandang Jlitheng sejenak. Namun karena Jlitheng mengangguk kecil, maka Rahu pun berkata, “Aku curiga kepada Nrangsarimpat. Pangeran yang sakit itu meninggalkan seorang gadis di rumahnya. Agaknya Nrangsarimpat telah tertarik kepada gadis itu seperti ia tertarik hampir kepada setiap orang perempuan”

“Jadi kau akan kembali ke istana itu?” bertanya Semi

“Ya. Jika Nrangsarimpat membawa gadis itu, maka nasib gadis itu agaknya akan menjadi sangat buruk. Jauh lebih buruk dari nasib ayahandanya” jawab Rahu.

“Marilah” berkata Semi, “Aku ikut bersamamu. Bukankah tidak ada yang menarik lagi diikuti pada orang-orang Sanggar Gading itu?”

“Tidak” jawab Rahu, “Mereka telah berpencar dan kembali ke padepokan sambil membawa Pangeran itu”

Semi pun kemudian mengikuti Rahu dan Jlitheng kembali ke Kota Raja. Ada semacam perasaan gelisah di hati mereka karena sikap Nrangsarimpat.

“Kita akan bersikap keras terhadapnya” desis Rahu kemudian, “Aku sudah mendapat ijin Cempaka”

“Apakah harus ada ijin dari orang itu?” bertanya Jlitheng.

“Setidak-tidaknya kita akan membatasi persoalannya, karena kita sudah terlanjur membiarkan Pangeran itu dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading ke padepokan” jawab Rahu.

Demikianlah mereka mempercepat kuda mereka. Mereka tidak membuang waktu lagi sehingga karena itu, maka mereka pun telah pergi langsung menuju ke istana Pangeran yang telah dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading itu.

Namun demikian mereka mendekati istana, maka Rahu pun berdesis Kita akan melibat, apakah mereka sudah datang atau belum”

“Apakah kita akan memasuki istana itu?” bertanya Semi.

“Tidak. Kita akan bertanya kepada penjaga regol itu, apakah ada orang yang datang ke istana itu mencari seorang” jawab Rahu.

“Apakah mereka justru tidak akan mencurigai kita?” bertanya Jlitheng.

“Kalian tidak perlu takut. Akulah yang akan bertanya” sahut Semi, “Mungkin mereka masih mengenal kalian yang semalam datang ke istana itu”

“Pergilah” jawab Rahu, “Kau orang baru dalam hal ini”

Semi pun mendahului kedua orang kawannya. Ia segera menemui penjaga regol istana itu dan bertanya, “Apakah aku diperkenankan menghadap Pangeran.

Penjaga itu bingung sesaat. Namun yang tertua diantara mereka menjawab.

“Pangeran sedang sakit Ia tidak menerima tamu hari ini

“Itulah” jawab Semi, “Aku datang karena Pangeran sedang sakit. Aku membawa obat untuk Pangeran yang dipesankan salah seorang abdi di istana ini. Ayahku adalah seorang tabib yang dikenal baik oleh Pangeran”

Sejenak penjaga regol yang tua itupun ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Apakah orang lain dapat menerimanya

Semi termenung sejenak. Tetapi kemudian ia bertanya, “Ki Sanak, apakah kakakku telah datang kemari?”

“Siapa?”

“Kakakku. Ia juga harus datang hari ini untuk membawa obat yang akan menjadi campuran obat yang aku bawa sekarang” desis Semi.

“Belum ada orang yang datang sepagi ini”

Semi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jika demikian, baiklah aku akan menunggu saja. Aku akan menghadap bersama-sama dengan kakakku itu”

“Terserahlah kepadamu. Tetapi Pangeran berpesan agar tidak seorang pun yang boleh datang menghadap untuk keperluan apapun juga” berkata penjaga regol itu.

Semi menarik nafas dalam-dalam Namun ia pun kemudian mohon diri untuk menunggu saudara laki-lakinya di luar istana.

Dalam pada itu, Semi pun segera mendapatkan Rahu dan Jlitheng untuk mengatakan kepada mereka, bahwa belum ada orang yang datang ke istana itu.

“Ternyata kita datang lebih dahulu” desis Rahu.

“Tetapi mungkin Nrangsarimpat tidak akan kembali ke istana ini” desis Semi.

“Memang mungkin. Tetapi kita akan menunggu beberapa saat. Kita akan mencari sebuah kedai di pinggir jalan, dekat dengan istana itu” berkata Rahu

“Jika mereka datang dari arah yang berbeda?” bertanya Jlitheng.

“Kita akan selalu mengawasi” jawab Rahu. Dengan demikian, maka ketiga orang itu pun berusaha untuk mendapatkan sebuah kedai yang mungkin tidak terlalu dekat, tetapi dapat mengawasi regol istana Pangeran yang malang itu. Selain mereka memang lapar, maka mereka akan dapat menjaga, agar seseorang tidak melakukan tindakan yang membuat Pangeran itu semakin menderita.

Tetapi ketiga orang itu tidak dapat makan dengan tenang. Meskipun demikian, namun akhirnya mereka menjadi kenyang juga.

Untuk beberapa saat mereka masih duduk di dalami kedai itu. Mereka sempat bertanya, kapan kedai itu mulai dibuka.

“Dini hari” jawab pemilik kedai itu, “orang-orang yang pergi ke pasar dari daerah yang jauh, kadang-kadang telah habis menjual dagangannya sebelum pagi. Sambil pulang, mereka sering singgah dikedai ini”

“Siapa yang membeli dagangan mereka di dini hari?” bertanya Rahu.

“Para tengkulak. Mereka membeli hasil sawah dari para petani. Kemudian mereka menjualnya di pasar itu pula. Bahkan keuntungan mereka lebih banyak dari uang yang diterima oleh para petani yang menanam, memetik hasilnya dan membawanya ke pasar itu” jawab pemilik kedai itu.

Rahu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak adil. Tetapi para petani itu telah puas jika dagangannya menjadi segera laku meskipun dibeli dengan harga yang terhitung murah”

Semi akan menyahut Tetapi diurungkannya, karena tiba-tiba saja mereka melihat dua orang penunggang kuda mendekati regol rumah Pangeran yang telah diambil oleh Sanggit Raina. Bahkan sejenak kemudian dua orang berkuda lainnya telah mendekati pula,

“Itukah mereka?” bertanya Semi.

Rahu bergeser selangkah. Kemudian sambil menggeram ia bangkit, “Setan. Ternyata ia benar-benar kembali. Ia berhasil mempengaruhi beberapa orang kawannya untuk kepentingannya yang gila itu”

“Apa?” bertanya pemilik kedai itu.

“Bukan apa-apa” jawab Jlitheng.

Rahu kemudian membayar makanan dan minuman yang telah mereka makan dan mereka minum. Kemudian katanya kepada pemilik kedai itu, “Aku titipkan kuda kami disini”

“Ada apa sebenarnya?” bertanya pemilik kedai itu.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya menitipkan kuda itu” jawab Jlitheng

“Tetapi jika terjadi sesuatu, aku tidak tahu menahu” pemilik kedai itu ketakutan.

Rahu mempertimbangkannya sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita bawa saja kuda kita. Kita ikat pada batang-batang perdu diluar halaman istana”

Sejenak kemudian, mereka pun mendekati regol pula. Ternyata keempat orang berkuda itu telah memasuki regol. Rahu dan kawan-kawannya tidak tahu, bagaimana cara mereka masuk. Apakah mereka menipu para penjaga regol, atau mereka mengancam dengan cara yang licik.

Di luar regol, ketiga orang itu mengikat kuda mereka pada sebatang pohon perdu di pinggir jalan. Kemudian mereka dengan hati-hati mendekati regol itu pula.

“Aku akan menghadap Pangeran” desis Semi kepada penjaga regol.

Penjaga regol itu termangu-mangu. Wajahnya penuh dengan kegelisahan dan gejolak yang menghentak-hentak.

“Baiklah” berkata Semi kemudian, “Kami akan berterus terang. Siapakah empat orang berkuda yang memasuki regol ini?”

Penjaga regol itu menjadi semakin tegang. Namun Semi. Rahu dan Jlitheng pun kemudian mendesak masuk sambil bertanya sekali lagi, “Siapakah mereka? Kenapa mereka kalian ijinkan masuk? Bukankah sudah kalian katakan, bahwa Pangeran tidak dapat menerima siapapun juga”

Orang bu tergagap. Sementara seorang kawannya pun berdiri saja mematung.

“Coba katakan” desak Rahu.

“Mereka mempunyai kepentingan khusus” desis penjaga regol itu.

“Katakan. Apakah mereka termasuk kelompok orang-orang yang semalam datang kemari mengambil Pangeran?” desak Rahu.

Penjaga regol itu menjadi semakin tegang. Dengan suara tertahan-tahan ia menjawab, “Ya. Mereka adalah orang-orang yang datang semalam. Tapi dari siapa kalian mengetahuinya”

“Itu bukan urusanmu. Tetapi katakan, apakah keperluan mereka” bertanya Semi.

Penjaga regol itu ragu-ragu.

“Apakah mereka mendapat pesan dari Pangeran agar mengambil anak gadisnya untuk menyusulnya?” Rahu bertanya pula.

“Ya, ya. Kalian tahu semuanya” suara penjaga itu bergetar.

“Persetan. Kalian telah ditipunya. Pangeran tidak memerintahkan siapapun untuk mengambil anak gadisnya. Bukankah kalian harus melindunginya” geram Rahu.

“Tetapi jika demikian, maka bukankah nasib Pangeran ada di dalam bahaya” penjaga regol itu menjadi semakin bingung.

“Siapa yang mengatakannya?” bertanya Jlitheng.

“Orang-orang itu” sahut penjaga regol.

“Bagus. Jadi orang itu mengambil gadis itu atas perintah Pangeran. Jika kalian tidak memberikan, maka Pangeran itu ada dalam bahaya. Apakah dengan demikian kau tidak tahu maknanya?” bertanya Jlitheng

“Aku tidak mengerti” jawab penjaga regol itu.

“Dengar. Dengan demikian berarti, bahwa Pangeran itu sebenarnya tidak menginginkan anak gadisnya menyusulnya. Jika ia memerintahkannya itu hanya karena ancaman baginya. Tetapi itu pun tidak benar sama sekali. Sudahlah. Beri kami kesempatan untuk menyelesaikan persoalan ini. Ketahuilah kami juga termasuk orang-orang yang dalang semalam. Karena itu kami tahu segalanya. Orang itu sama sekali tidak, datang atas perintah Pangeran, tetapi atas kehendaknya sendiri. He, apakah kau tidak melihat, bagaimana Pangeran marah melihat sikap orang itu semalam?”

Penjaga regol itu menjadi semakin tegang. Seorang yang untuk beberapa saat hanya mematung saja, tiba-tiba berdesis, “Ya, Semalam memang ada seorang yang dengan sangat tidak tatanan telah mencoba menyentuh puteri”

“Kami akan menemui mereka” berkata Rahu tidak sabar lagi, “kalian tidak usah turut campur. Kami mendapat tugas dari pimpinan kami untuk membersihkan nama kelompok kami dari sikap yang kotor itu”

Para penjaga regol itu saling berpandangan. Namun mereka seolah-olah telah dicengkam oleh perasaan yang selalu cemas dan kawatir tentang nasib Pangeran yang sedang sakit dan yang telah dibawa oleh sekelompok orang yang tidak dikenal itu.

Karena para penjaga itu masih saja termangu-mangu, maka Rahu pun berkata, “Kami akan menyelesaikan persoalan kami. Kami akan berusaha agar puteri itu tidak beranjak dari istana ini, dan jatuh ke tangan setan alasan itu”

Sebelum para penjaga regol menjawab, maka Rahu pun telah melangkah menuju ke pintu butulan yang terbuka, diikuti oleh Jlitheng dan Semi.

Sejenak para penjaga regol itu termangu-mangu. Namun kemudian yang tertua diantara mereka pun berkata, “Biarlah mereka menyelesaikan persoalan diantara mereka. Aku pun sebenarnya berkeberatan untuk melepaskan puteri ke tangan orang yang nampaknya sangat licik itu”

Tidak ada yang menjawab Tetapi nampak pada setiap wajah, ketegangan yang semakin memuncak

Dalam pada itu, Rahu yang tergesa-gesa, segera memasuki pintu butulan. Ia justru berlari ketika mendengar jerit kecil di dalam ruangan depan. Giginya gemeretak menahan gejolak di dalam hati.

Tiba-tiba saja Rahu berteriak pada saat ia mendorong pintu yang menyekat ruang depan dan ruang dalam, sementara itu suara tertawa terdengar meninggi., “Diam Iblis”

Tetapi suara tertawa itupun segera terputus. Serentak mereka berpaling ke pintu yang berderak

“Rahu” desis Nrangsarimpat yang sedang memegangi puteri yang berusaha meronta. Sementara embannya terbaring di lantai Pingsan.

“Nrangsarimpat” geram Rahu yang melangkah maju setapak demi setapak, “Apa yang kau kerjakan itu?

“Itu urusanku. Kenapa kau kembali?” bertanya Nrangsarimpat. Senyumnya sama sekali tidak nampak lagi di bibirnya.

“Aku mendapat perintah dari Sanggit Raina lewat Cempaka untuk melihat, apa yang kau lakukan. Ternyata kau benar-benar seorang iblis yang Gila” geram Rahu.

“Bohong” teriak Nrangsarimpat, “Cempaka tidak akan memerintahkan sesuatu kepadamu bersama orang yang bukan keluarga kita, meskipun aku tahu, bahwa ia adalah adikmu”

“Ini suatu pendadaran buat adikku, apakah ia dapat diterima diantara kita atau tidak. Ia akan bertempur tidak usah di padang perburuan itu. Tetapi jika kau tidak mau pergi, maka adikku akan bertempur disini bersama aku dan Bantaradi” jawab Rahu.

Tetapi Nrangsarimpat tertawa. Ia masih belum melepaskan puteri yang ketakutan itu. Katanya, “Baiklah. Aku akan pergi bersama puteri ini. Aku akan membawanya ke padepokan. Mungkin ia diperlukan. Bukan saja aku sendiri, tetapi kawan-kawanku. Dan bukankah disana ia akan tinggal bersama ayahandanya?”

“Tidak. Aku tidak mau” teriak puteri itu.

Tetapi Nrangsarimpat tertawa sambil menjawab, “Jangan menjerit terlalu keras puteri. Aku tidak bermaksud buruk Tetapi aku bermaksud baik. Disini kau terpisah dari ayahanda mu. Tetapi di padepokanku kau akan tinggal bersamanya, meskipun hanya pada saat-saat tertentu”

“Cukup” Rahu lah yang membentak, “Kau jangan menghina perintah Sanggit Raina. Nrangsarimpat, seandainya aku gagal menjalankan perintah itu maka kau tentu akan dibunuhnya juga jika kau bawa gadis itu. Kau seharusnya sudah dapat membawa sikapnya semalam. Tetapi ketajaman perhitungannya telah menjatuhkan perintah lewat Cempaka agar aku datang kembali ke istana ini”

Tetapi Nrangsarimpat masih tertawa Katanya kepada kawan-kawannya, “Jika demikian, gadis ini tidak akan kita bawa ke padepokan. Aku akan menyediakan sebuah rumah khusus buatnya. Ia akan menjadi isteriku”

“Aku tidak mau. Aku tidak mau” teriak puteri itu.

Semi yang berdiri dengan tegangnya itu, rasa-rasanya tidak sabar lagi menunggu pembicaraan yang tidak berkesudahan. Maka iapun kemudian melangkah maju sambal berkata, “Aku akan mencoba untuk dapat memasuki padepokan itu. Mungkin aku harus membunuh untuk membuktikan bahwa aku memiliki kemampuan untuk berada bersama kakakku di padepokan”

Nrangsarimpat masih saja tertawa. Kalanya kepada kawan kawannya, “He, kenapa kau biarkan anak itu mengigau”

Tiga orang kawan Nrangsarimpat pun segera bersiap. Yang seorang menggeram, “Kalian telah mengganggu kami. Kalian pun telah mengaku mendapat perintah dari Sanggit Raina. Maka untuk menghapus kesombongan kalian, maka kalian akan kami bunuh disini”

“Jadi kalian tidak mau mendengarkan peringatan kami” potong Rahu.

Nrangsarimpat lah yang kemudian berkata kepada kawan-kawannya, “kalian menunggu apa lagi? Lakukanlah. Bunuhlah mereka Puteri ini kelak tidak akan meronta-ronta lagi jika ia sudah melihat istana ayahku. Aku juga seorang bangsawan seperti gadis ini. Bahkan seandainya Rahu mengetahuinya, ia akan menyembah aku sepuluh kali setiap ia berbicara satu kalimat”

Rahu tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian melangkah maju pula sambil mempersiapkan diri. Sementara Jlitheng pun telah memencar, la berdiri menyudut sambil memperhatikan keadaan yang menjadi semakin tegang.

Ternyata Nrangsarimpat benar-benar seorang yang sombong. Ia sama sekali tidak melepaskan puteri itu. Agaknya ia percaya kepada tiga orang kawan-kawannya. karena lawan mereka pun hanya tiga orang.

“Bunuh mereka. Biarlah aku bersama gadis ini. Kelak kalian akan mendapat hadiah ganda daripadaku. Selain karena kalian membantu aku mendapatkan puteri ini, kalian juga telah membantu aku menyingkirkan kutu-kutu kecil itu. Perhiasan setelah dinding istanaku pun telah berlebihan bagi upah kalian itu” berkata Nrangsarimpat.

Ketiga orang kawannya itu pun, segera berpencar pula menghadapi tiga orang yang mereka anggap telah mengganggu maksud mereka mengambil puteri itu.

Rahu menggeram mendengar kata-kata dan melihat sikap Nrangsarimpat. Ternyata orang itu telah merendahkannya dan menganggapnya tidak pantas untuk dilayani, sehingga dengan demikian, Nrangsarimpat telah mempercayakannya kepada kawan-kawannya.

Semi yang jantungnya bagaikan terbakar, melangkah mendekati orang yang berdiri di sebelah Nrangsarimpat sambil bertolak pinggang. Ia tidak berkata sesuatu lagi. Namun iapun telah bersiap untuk menyerangnya.

Orang yang bertolak pinggang itu bergeser. Namun ia masih sempat tersenyum sambil berkata, “Adikmu memang sombong Rahu”

Rahu tidak menjawab, karena ia melihat Semi telah meloncat menyerang orang yang masih saja tersenyum itu.

Orang itu tertawa Ia sempat mengelak sambil berkata, “Sebuah serangan yang manis. Tetapi kita akan berkelahi. Tidak sekedar menari di pendapa istana Pangeran ini”

Semi mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sikap lawannya justru membuatnya berbesar hati. Pada serangan yang pertama, ia memang tidak bersungguh-sungguh. Tetapi nampaknya lawannya menilai lain, meskipun ia agak menghinanya

Nrangsarimpat yang masih memegangi puteri yang ketakutan itu bergeser menepi. Ketika puteri itu meronta sekali lagi. Nrangsarimpat tertawa sambil berkata, “Jangan membuat aku marah dalam keadaan ini puteri. Kau terlalu cantik untuk dicubit jika kau nakal. Tetapi jika kau masih saja meronta, aku akan mendukungmu seperti mendukung anak-anak yang sedang merengek”

Rahu mengeram. Tetapi seseorang telah berdiri dihadapannya. Orang yang dikenalnya dengan baik dalam kehidupannya di Sanggar Gading.

“Kau sudah dibius oleh kegilaan Nrangsarimpat” berkata Rahu.

“Jangan merajuk Rahu. Aku memang berdiri di pihaknya. Ia memiliki uang untuk mengupah aku. Dan ia akan memilik permainan yang mengasyikkan, yang barangkali pada suatu saat aku akan diperbolehkan meminjamnya”

“Kau gila. Ternyata kau tidak tunduk lagi kepada perintah Sanggit Raina. Ia memerintahkan agar kita semuanya tidak memancing persoalan yang manapun juga, yang dapat mengganggu kerja besar kita” geram Rahu.

“Jangan banyak bicara lagi. Karena kau sudah mencampuri persoalan ini, maka agar kami tidak mendapat hukuman dari Sanggit Raina dan Yang Mulya dari Sanggar Gading, maka kalian bertiga akan mati. Dengan demikian tidak akan ada saksi dan tidak akan ada orang yang akan menyampaikan masalah ini kepada mereka”

Rahu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap. Namun agaknya lawannya pun bertindak cepat. Justru ia telah meloncat menyerang Rahu yang terpaksa menghindar selangkah surut.

Jlitheng pun kemudian tidak menunggu lagi. Sementara itu. seorang yang telah siap menghadapinya, segera bergeser mendekatinya sambal berkata, “Kau ternyata hanya mempunyai kesempatan yang sangat pendek tinggal bersama kami di padepokan Sanggar Gading. Kau akan mati bersama Rahu orang yang menjadi sangat sombong hanya karena ia dapat mendekati dan mendapat sedikit kepercayaan dari Cempaka, adik Sanggit Raina. Tetapi Rahu itu akan mati bersama adiknya pula disini”

Jlitheng tidak menjawab. Ia pun kemudian bersiap ketika lawannya mulai menggerakkan tangannya dan bergeser semakin dekat.

“Aku ingin melihat, apakah kau mampu juga bertempur meskipun kau sudah pernah menunjukkan kemampuanmu di padang perburuan. Tetapi yang kau hadapi adalah cecurut-cecurut kecil yang tidak berarti” berkata lawannya sambil tertawa.

Jlitheng mengatupkan giginya. Namun tiba-tiba saja berkata, “Aku sudah pernah membunuh celurut-celurut kecil. Tetapi apakah kau bukan sebangsa tikus piti?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kau sempat bergurau menjelang matimu. Bagus. Kau akan mati sambil tersenyum mengenang gurauanmu sendiri, itu lebih baik dari pada mati sambil menangis”

Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun ia masih juga berkata, “Apakah kau sedang berusaha menyelebungi kecemasanmu dengan berkicau tidak menentu”

Tiba-tiba wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, “Gila. Kau ternyata tidak kalah sombongnya dengan Rahu”

Jlitheng tidak menjawab. Dalam ruang yang tidak terlalu luas itu segera terjadi tiga lingkaran pertempuran. Sementara itu Nrangsarimpat yang masih saja memegangi gadis itu. bergeser semakin lama menepi. Dengan penuh perhatian ia mengingkari pertempuran yang semakin lama menjadi semakin meningkat.

Sementara itu beberapa orang pengawal istana itu menjadi kebingungan. Mereka tahu pasti bahwa pertempuran memang sedang terjadi di ruang dalam. Namun mereka tidak mengetahui apa yang sebaiknya harus mereka lakukan.

“Selagi mereka bertempur, apakah tidak sebaiknya kita melaporkan segala peristiwa yang terjadi kepada prajurit Demak?” berkata salah seorang pengawal.

“Apakah dengan demikian tidak akan membahayakan jiwa Pangeran? Jika orang-orangnya yang berada disini tidak kembali pada saat-saat yang ditentukan, maka tentu akan timbul kecurigaan. Sasaran mereka adalah Pangeran” sahut yang lain.

“Tetapi mereka saling bertempur” desis yang lain lagi.

“Menurut keterangan mereka, dan aku agaknya percaya, bahwa yang datang kemudian itulah yang membawa tugas dari pimpinan mereka untuk mencegah tingkah laku kawannya yang tidak menguntungkan bagi kelompok mereka. Semalam tanda-tanda itu sudah nampak” berkata seorang pengawal yang melihat tingkah laku Nrangsarimpat semalam.

Namun para pengawal itu masih tetap ragu-ragu. Sehingga akhirnya yang tertua diantara mereka berkata, “Kita hanya dapat menunggu. Jika kita salah langkah, taruhannya mahal sekali. Pangeran akan menjadi banten kebodohan kita. Tetapi jika kita tidak berbuat sesuatu, mungkin itupun kesalahan pula, karena kita tidak berusaha membebaskan Pangeran”

Para pengawal itu termangu-mangu. Memang mereka merasa apa yang mereka lakukan selalu salah. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk berbuat dengan sangat berhati-hati.

Dalam pada itu. di dalam istana itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para pengawal yang kebingungan itu kemudian beringsut untuk berusaha dapat mengikuti perkelahian itu meskipun dari jarak yang agak jauh. Meskipun demikian mereka masih sempat mengatur agar dua orang diantara mereka tetap berada di regol. Untuk sementara mereka memang harus menunggu. Meskipun sebenarnya mereka telah siap mengorbankan apapun yang ada pada mereka, tetapi pertimbangan keselamatan Pangeran itulah yang menjadi perhatian utama bagi mereka.

Sementara itu, Rahu, Jlitheng dan Semi masih bertempur dengan sengitnya. Ternyata orang-orang Sanggar Gading yang memang orang-orang yang terpilih. Hanya mereka yang memiliki kelebihan sajalah yang dapat memasuki dan diterima menjadi keluarga dari padepokan yang tertutup dan wingit itu, semuanya disebut murid dari pimpinan tertinggi padepokan itu. sengaja atau tidak sengaja.

Meskipun demikian, ternyata masih ada juga unda-usuk dari setiap murid di Sanggar Gading. Meskipun mereka adalah orang-orang terpilih, tetapi kemampuan dan ilmu mereka mempunyai tataran yang tidak sama. Karena itulah, maka akhirnya Rahu, orang yang dipercaya oleh Cempaka itu dapat mengatasi lawannya. Dengan kecepatannya bergerak, akhirnya ia dapat membuat lawannya kebingungan.

Dalam pada itu, Jlitheng, anggauta termuda dari Sanggar Gading itupun ternyata memiliki kelebihan dari lawannya. Bekal yang dipersiapkan cukup cermat sebelum ia memasuki Sanggar hantu itu, segera nampak gunanya. Dengan pasti ia pun akhirnya berhasil menekan lawannya sehingga pada suatu saat, lawannya benar-benar berada dalam kesulitan.

Dilingkaran pertempuran yang lain. Semi harus mengerahkan segenap kemampuannya. Lawannya benar-benar seorang yang kuat dan tangguh. Tenaganya bagaikan tenaga raksasa. Namun Semi adalah petugas sandi seperti juga Rahu. Itulah sebabnya, maka ia pun mampu bertahan menghadapi serangan lawannya yang kuat dan tangkas.

Nrangsarimpat memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Akhirnya ia menyadari, bahwa ia tidak akan dapat tetap berdiam diri menonton saja pertempuran itu. Karena itu, maka sambil menggeretakan giginya ia menggeram, “Ternyata kalian benar-benar tidak pantas diampuni. Aku tidak akan menyesal jika saudara-saudaraku dari Sanggar Gading harus dikorbankan karena tingkahnya sendiri”

Rahu menggeretakkan giginya. Tetapi ia pun tidak menutup perkembangan, bahwa jika Nrangsarimpat segera terjun ke pertempuran, maka tugas mereka menjadi berat.

Sekilas ia sempat memperhatikan Semi dan Jlitheng. Ia menganggap bahwa Semi tidak, perlu dicemaskan, karena ia mengetahui kemampuannya. Asal saja Nrangsarimpat tidak turun menghadapinya pula berpasangan dengan lawan yang sudah ada. Namun yang menjadi perhatiannya kemudian adalah anak muda yang dikenalnya bernama Bantaradi dan yang ternyata mengaku sebagai putera seorang Senapati Agung di Majapahit pada saat runtuhnya.

Rahu yang memiliki pengamatan yang rajam itu tidak dapat mengingkari penglihatannya, bahwa ia memang melibat beberapa unsur gerak Pangeran Surya Sangkaya ada pada tata gerak anak muda yang dikenal bernama Bantaradi dan yang menyebut dirinya bernama Candra Sangkaya itu.

“Anak muda yang luar biasa” berkata Rahu di dalam dirinya.

Namun dalam pada itu, ia harus menggertakkan giginya ketika ia melihat Nrangsarimpat tidak mau menahan diri lagi. Ketika ia melihat kawan-kawannya mulai terdesak, maka ia pun berkata, “Puteri, aku tidak dapat menunggui tanpa berbuat sesuatu dan hanya bergandengan tangan saja denganmu”

“Pergi, pergi lepaskan aku” teriak puteri itu.

“Jangan meronta. Lebih baik kau tidur saja sejenak. Aku harus melibatkan diri dalam perkelahian yang gila ini”

Puteri itu meronta, tetapi Nrangsarimpat segera memegang tengkuknya. Dengan keahlian yang ada padanya ia telah memijit urat pada tengkuk puteri itu, sehingga puteri itupun menjadi tidak sadarkan diri, seolah-olah tertidur sangat nyenyaknya.

“Tidur sajalah sayang” gumam Nrangsarimpat. Namun terdengar Semi menggeram, “Kau sajalah yang mati”

Nrangsarimpat tertawa. Katanya, “Jangan mengumpat. Puteri itu tertidur nyenyak, sehingga ia tidak akan menjadi ketakutan melihat tubuh-tubuh yang akan terbantai disini”

Semi tidak menjawab. Tatapi ia mulai menghentakkan kekuatannya mendesak lawannya

Nrangsarimpat maju selangkah. Ia melihat pertempuran itu dengan saksama. Kemudian katanya, “Aku akan memilih lawanku. Aku akan bertempur berpasangan melawan Rahu, orang yang merasa dirinya memiliki kelebihan dari kawan-kawannya di padepokan Sanggar Gading. Kau harus mati lebih dahulu. Kemudian anak baru yang malang itu dan kemudian adikmu pula. Tidak seorang pun yang boleh tetap hidup agar tidak ada kesaksian yang sampai ke telinga Sanggit Raina.

Rahu menggeram. Ia sadar, untuk melawan dua orang sekaligus akan mengalami kesulitan. Tetapi ia tidak boleh ingkar apapun yang akan terjadi. Namun iapun tidak akan berputus-asa karenanya. Ia akan menghentakkan segenap kemampuannya menghadapi keduanya dengan hati yang tatag.

Selangkah demi selangkah Nrangsarimpat melangkah maju. Sementara itu. Rahu berusaha sekuat-kuatnya untuk memperlemah pertahanan lawannya justru sesaat sebelum Nrangsarimpat memasuki arena.

Dalam ruang yang tidak begitu luas itu, suasananya menjadi semakin panas ketika Nrangsarimpat mulai menyingsingkan kain panjangnya dan menyangkutkan pada kerisnya. Sementara sambil menggeretakkan giginya ia mendekati Rahu yang sedang bertempur dengan sengitnya.

“Kita tidak akan bermain-main lagi” berkata Nrangsarimpat.

Karena itulah, maka pertempuran yang dahsyat itupun segera ditandai dengan dentang senjata dan percikan bunga api di udara.

Namun sebenarnyalah Nrangsarimpat adalah seorang yang trampil trengginas. Apalagi berdua berpasangan melawan Rahu. Betapapun juga namun ternyata Rahu pun segera mulai terdesak.

“Tempat ini tidak menguntungkan buatmu Rahu” berkata Nrangsarimpat, “di tempat yang lebih luas, mungkin kau dapat berloncatan dengan langkah-langkah panjang untuk menghindari serangan-serangan kami berdua. Tetapi di tempat yang sempit ini, kesempatanmu terlalu kecil untuk dapat memperpanjang umur”

Rahu tidak menjawab. Terdengar ia menggeram sambil menghentakkan kemampuannya.

Yang terdengar kemudian adalah justru suara tertawa Nrangsarimpat. Sambil menyerang ia berkala, “Jangan memaksa diri. Sebentar kemudian kau akan kehabisan tenaga. Lebih baik kau mati tertusuk pedang dalam pertempuran daripada kau terjatuh kehabisan napas, kemudian dengan perlahan-lahan aku menikamkan pedang dipusat jantungmu”

“Setan” Rahu mengumpat. Tetapi yang dikatakan oleh Nrangsarimpat itu justru memberinya peringatan, agar ia memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Tetapi betapapun juga, Rahu benar-benar semakin tersudut ke dalam kesulitan. Jika ada perbedaan tingkat dan tataran ilmu bagi orang-orang terbaik di Sanggar Gading, maka akan sulit bagi seseorang melawan dua orang sekaligus. Apalagi yang seorang diantaranya adalah Nrangsarimpat.

Dalam pada itu maka tiba-tiba saja terdengar Nrangsarimpat berteriak, “Sekarang, jangan beri kesempatan terlalu lama. Gadis itu memerlukan pembebasan dari tidurnya yang nyenyak. Karena itu, terpaksa kita akan membunuh segera”

Keduanya bergerak semakin cepat. Dengan loncatan yang cepat, kedua lawan Rahu itu berhasil mengurungnya di sudut ruangan, sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Rahu untuk menembusnya.

“Apakah kau mempunyai pesan?” tiba-tiba Nrangsarimpat bertanya. Rahu tidak menjawab. Tetapi dengan cermat ia melawan serangan-serangan lawannya. Namun pada saat terakhir, Nrangsarimpat agaknya benar-benar tidak ingin memberinya kesempatan lagi Dengan wajah yang garang ia mengacukan senjatanya sambil berdesis, “Saatnya telah tiba. Betapapun tinggi ilmumu, kau akan mati disini”

Rahu berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Dengan ketajaman tatapan matanya ia berusaha untuk dapat mengamati kedua ujung senjata lawannya. Setiap kali senjata itu dapat bergerak mematuknya. Dan ia tidak akan membiarkan dirinya terluka arang keranjang dan mati di istana itu tanpa berusaha sampai kemungkinan terakhir.

Yang sama sekali tidak diduga oleh lawan-lawannya pada saat yang demikian itu, justru Rahu telah menghentak dengan kecepatan yang sangat tinggi, meloncat menyerang. Bukan Nrangsarimpat, tetapi kawannya yang memiliki tingkat ilmu yang selapis di bawahnya.

Gerak Rahu benar-benar mengejutkannya. Karena itu, maka lawannya yang tidak menyangka sama sekali telah menjadi kehilangan kesempatan untuk mengelak. Namun ia masih berusaha untuk menangkis serangan Rahu yang sangat tiba-tiba itu. Meskipun demikian, ia tidak berhasil sepenuhnya melepas-kan diri dari sentuhan ujung senjata Rahu. Karena itulah maka terdengar ia menyeringai ketika senjata Rahu menyentuh pundaknya dan meninggalkan luka yang menganga.

“Gila kau Rahu“ Nrangsarimpat lah yang berteriak sambil meloncat menyerang.

Tetapi Rahu memang sudah memperhitungkan. Karena itu dengan cepat ia meloncat surut sambil menangkis serangan lawannya.

Dalam pada itu, orang yang terluka itu untuk sesaat berdiri termangu-mangu. Ketika tangan kirinya meraba lukanya, maka terasa darahnya yang hangat membasahi jari-jarinya.

Dengan nada berat ia menggeram, “Kau memang harus dicincang Rahu”

Namun Rahu sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan mendatang. Luka itu tentu mengurangi kecepatan bergerak tangannya. Dan Rahu berharap bahwa dengan demikian, ia akan dapat berusaha memperpanjang perlawanannya.

Tetapi sekali lagi Rahu harus tersudut. Meskipun darah telah menitik dari luka, tetapi lawannya masih tetap garang dan bahkan menjadi liar.

Pada saat-saat yang gawat itu. Rahu masih tetap menyadari keadaannya. Ia harus tetap pada sikap dan laku sebagai seorang laki-laki dengan senjata di tangan.

Setapak demi setapak Nrangsarimpat bergeser. Demikian pula lawannya yang sudah terluka itu. Mereka tidak mau mengalami peristiwa itu sekali lagi,

Rahu benar-benar mengalami kesulitan. Tetapi ia sudah bertekad untuk membunuh salah seorang dari keduanya, seandainya iapun harus mati.

Terasa dentang jantung Rahu seolah-olah menjadi semakin keras. Tangannya bergelar siap untuk berbuat sesuatu. Seandainya kedua senjata lawannya terjulur bersama-sama, maka ia sudah siap untuk mengambil satu sikap untuk mati dengan membawa korban bersamanya,

Namun pada saat yang demikian, tiba-tiba saja terdengar pekik tertahan. Hampir diluar sadarnya, orang-orang yang berada di dalami ruangan itu berpaling.

Yang mereka lihat adalah, lawan Jlitheng yang terhuyung-huyung. Meskipun ia masih berusaha untuk berdiri tegak, namun akhirnya tubuhnya pun terbanting jatuh di lantai menelungkup.

Jlitheng berdiri tegak dengan pedang tipisnya yang merah oleh darah. Ternyata ia telah menyelesaikan pertempuran itu. Untuk sesaat ia masih menyaksikan lawannya bergerak. Ternyata bahwa ia masih hidup, meskipun sudah tidak mampu berbuat apapun lagi karena luka-lukanya.

“Kau adalah salah seorang murid Sanggar Gading” tiba-tiba terdengar Rahu berdesis.

Jlitheng menggeretakkan giginya. Sesaat kemudian ia pun telah tegak dengan senjatanya menyilang di muka dadanya. Ternyata Rahu telah menghentakkannya dari gejolak perasaannya.

Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku akan mengambil seorang dari lawan Rahu. Kematian adalah akibat yang wajar pada perkelahian seperti ini. Kawanmu itu akan mati, dan kalian semuanya juga akan mati”

Nrangsarimpat menggeram. Namun ia tidak sempat berbuat sesuatu terhadap Jlitheng, karena tiba-tiba saja Rahu telah meloncat menyerangnya.

“Gila” teriak Nrangsarimpat, “dengan tingkah laku Bantaradi itu, jangan kau kira bahwa kau akan dapat membebaskan dirimu”

Rahu tidak menyahut. Ia melihat Jlitheng telah bersiap pula menghadapi kawan Nrangsarimpat yang telah menitikkan darah dari lukanya.

Kawan Nrangsarimpat itu menggeletakkan giginya. Ia menyadari apa yang bakal terjadi. Ia harus melawan orang yang dikenalnya bernama Bantaradi. yang sudah berhasil menjatuhkan seorang kawannya.

Sejenak kemudaan, maka Jlitheng berhasil memancing lawannya itu mengambil jarak dari Rahu yang harus berhadapan dengan Nrangsarimpat seorang diri.

Nrangsarimpat yang marah itu tidak menunggu lebih lama lagi Ia pun segera meloncat menyerang, selagi Rahu belum beringsut terlalu jauh dari sudut ruangan. Ia masih akan berusaha untuk menyudutkan Rahu sehingga ia tidak mempunyai keleluasaan bergerak, meskipun Nrangsarimpat bertempur seorang diri.

Rahu memang terdorong surut. Tetapi ia tidak lagi terlalu tegang menghadapi seorang lawannya. Ia masih sempat memperhatikan keadaan sekitarnya. Ternyata bahwa Jlitheng telah memaksa lawannya untuk bergeser semakin jauh dari Nrangsarimpat.

Sementara itu, Semi bertempur dengan serunya pula. Ternyata lawannya memiliki kekuatan yang luar biasa. Tetapi Semi yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang itu juga memiliki tenaga raksasa. Dengan demikian, maka benturan-benturan kekuatan diantara mereka seolah-olah membuat seisi istana itu bergetar. Dentang senjata keduanya yang beradu seolah-olah telah mengguncang tiang dan dinding yang berdiri tegak dengan kokohnya.

Untuk beberapa saat kekuatan mereka berdua nampak seimbang. Namun kemudian ternyata bahwa kekuatan Semi telah berhasil mendesak lawannya meskipun perlahan-lahan.

Yang segera mengalami kesulitan adalah lawan Jlitheng, Pedang tapis Jlitheng ternyata mampu membuat lawannya berloncatan kebingungan. Setiap kali ia meloncat surut mengambil jarak, kemudian berputar dan beringsut sambil memperbaiki kedudukannya.

Ternyata darah yang mengalir dari lukanya memang mulai mengganggunya. Karena itu, maka tenaganya tidak lagi mampu mengimbangi kecepatan getar pedang tipis Jlitheng.

Sejenak kemudian, ketika Nrangsarimpat berteriak sambil meloncat menyerang, terdengar lawan Jlitheng itu mengeluh pendek. Sekali lagi tubuhnya tersayat oleh senjata. Kali ini adalah senjata Jlitheng yang dikenalnya bernama Bantaradi.

“Anak iblis” Orang itu mengumpat. Namun umpatannya tidak mampu memampatkan darahnya. Bahkan semakin lama semakin banyak. Titikan-titikan darah itu sudah mulai memerah di lantai yang mengkilap.

Nrangsarimpat yang bertempur melawan Rahu seorang lawan seorang melihat kedua kawannya mulai terdesak. Karena itu, maka ia pun menghentakkan kemampuannya untuk memaksa Rahu segera tidak berdaya.

Tetapi ternyata bahwa dugaannya tentang orang yang bernama Rahu dan menyebut dirinya Iblis bertangan Petir itu keliru. Jika Rahu mendapat kepercayaan dari Cempaka, menurut dugaan Nrangsarimpat hanyalah karena Rahu bersedia merendahkan dirinya dan dapat melayani segala kehendak Cempaka. Namun ternyata bahwa Rahu benar-benar seorang iblis yang bertangan petir. Tangannya mampu bergerak dengan kecepatan yang sulit diperhitungkan. Kadang-kadang Nrangsarimpat justru menjadi kehilangan pengamatan sehingga ia terpaksa berloncatan surut.

Dalam pada itu, Rahu tidak lagi dicemaskan oleh kemungkinan, bahwa ia akan tersudut. Ia melihat, bahwa Jlitheng tentu akan dapat memenangkan pertempuran melawan orang yang telah terluka itu, sementara Semi pun nampaknya benar-benar sudah mapan dan perlahan-lahan namun pasti mulai menguasai lawannya, meskipun kadang-kadang lawannya masih nampak sangat garang. Tetapi kekuatan Semi yang bertubuh raksasa itupun benar-benar dapat dibanggakan.

Yang harus dikerjakan oleh Rahu kemudian adalah mengalah-kan Nrangsarimpat yang sombong dan kasar, meskipun nampaknya ia adalah seorang yang lembut dan peramah. Tetapi sikapnya terhadap puteri yang dibuatnya bagaikan tertidur itu benar-benar mencemaskan Rahu, yang bukan saja orang Sanggar Gading, tetapi ia adalah petugas sandi yang memang wajib melindungi setiap orang dari tangan-tangan kejahatan.

Tetapi terlebih-lebih dari itu, Rahu benar-benar telah menjadi muak terhadap Nrangsarimpat. Karena itu, maka ketika ia pasti, bahwa kedua orang kawannya pun akan berhasil mengalahkan lawannya, maka iapun telah memusatkan usahanya untuk dengan segera melumpuhkan orang yang bernama Nrangsarimpat itu. Seorang murid Sanggar Gading yang sangat memuakkannya karena sikapnya. Dibalik keramahan dan kelembutan sikapnya yang selapis itu. ternyata tersembunyi hati iblisnya yang berbulu ijuk.

Rahu yang sudah mengenal Nrangsarimpat dengan baik itu telah memutuskan di dalam hatinya, bahwa tingkah laku Nrangsarimpat tidak akan dapat berubah sepanjang ia masih dapat menghirup udara. Karena itu, cara satu-satunya untuk menghentikan tingkah lakunya bagi keselamatan banyak orang hanyalah dengan membunuhnya.

Karena itu, maka Rahu pun kemudian telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia tidak akan memberi kesempatan lagi kepada Nrangsarimpat yang semula menganggap Rahu hanyalah sekedar seorang penjilat di kaki Cempaka, adik Sanggit Raina, sehingga ia mendapat kepercayaan dari padanya.

Namun yang ternyata kemudian, bahwa kemampuan Rahu benar-benar telah mencemaskannya, sehingga ia kemudian telah terdesak karenanya.

“Apakah orang ini sudah kerasukan Iblis dari alas neraka” Nrangsarimpat menggeram di dalam hatinya. Namun sebenarnyalah bahwa ia telah menjadi semakin terdesak seperti juga kedua orang kawannya yang lain, sementara seorang kawannya telah terbaring di lantai tanpa bergerak lagi dalam genangan darah yang merah kehitam-hitaman.

Demikianlah pertempuran yang sengit itu sudah mulai jelas, apakah bakal terjadi. Nrangsarimpat sama sekali tidak tertawa lagi. Bahkan wajahnya yang tegang itu bagaikan membara oleh kemarahan yang membakar jantung.

Tetapi ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu melawan badai kemarahan Rahu yang sudah memuncak pula. Senjata Rahu semakin lama semakin terasa terbang semakin dekat pada kulitnya. Setiap senjata itu berdesing, terasa sentuhan angin menyapu tubuhnya.

Namun ketika Rahu semakin mendesaknya, yang menyentuh tubuh Nrangsarimpat bukan sekedar desir angin ayunan senjatanya, tetapi kemudian Nrangsarimpat itupun berdesis ketika segores luka menyobek kulitnya

“Gila” geramnya.

“Tidak ada jalan lain yang dapat kau tempuh, kecuali kematian. Aku sudah cukup memberimu kesempatan Tetapi kau sama sekali tidak menghiraukan. Karena itu, maka tidak ada pilihan bagiku kecuali melaksanakan perintah Sanggit Rama lewat Cempaka dengan sebaik-baiknya”

“Persetan kau penjilat” teriak Nrangsarimpat.

“Penjilat atau bukan penjilat, tetapi kau harus mati” Rahu juga menggeram.

Nrangsarimpat memang menjadi semakin cemas betapapun kemarahannya menjadi semakin memuncak Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa darah telah menitik dari lukanya Dan bahkan kemudian Rahu telah mendesaknya semakin-dahsyat.

Betapa Nrangsarimpat berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun akhirnya ia terdorong surut dengan nafas yang terengah-engah ketika sekali lagi senjata Rahu menyentuhnya.

Tetapi Rahu tidak membiarkannya berusaha memperbaiki kedudukannya. Dengan tangkasnya ia memburu. Pedangnya terjulur lurus ke dada lawannya Tetapi Nrangsarimpat masih berusaha menangkis serangan itu. Ketika terjadi benturan senjata, ternyata tenaga Nrangsarimpat benar-benar telah jauh menjadi susut.

Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Rahu. Dengan pasti ia bergeser kedepan, memutar senjatanya, dan ketika ia sekali lagi menyerang, maka senjatanya benar-benar telah merobek lambung lawannya

Nrangsarimpat terdorong sekali lagi. Wajahnya yang merah menjadi semakin merah. Tetapi sejenak kemudian wajah itu menjadi putih pucat. Kakinya tidak lagi dapat berdiri tegak, sementara senjatanya semakin lama menjadi semakin menunduk.

Tetapi dalam pada itu ia masih berteriak dengan suara bergetar, “Anak setan, penjilat kau Rahu. Aku cincang kau menjadi sayatan tulang dan daging”

Rahu tidak menjawab. Dipandanginya saja Nrangsarimpat yang kemudian jatuh tersungkur. Masih terdengar umpatan kasar dari mulutnya meskipun semakin lambat.

Rahu menarik nafas dalam-dalam ketika kemudian Nrangsarimpat itu terdiam. Tarikan nafasnya yang terakhir menandai akhir hidupnya dengan beberapa goresan luka di tubuhnya.

Kematian Nrangsarimpat membuat kawan-kawannya menjadi berputus asa. Mereka merasa, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apapun untuk menyelamatkan hidupnya. Merekapun merasa bahwa mereka tidak akan sempat melarikan diri setelah dua orang diantara mereka terbunuh. Apalagi mengharapkan pengampunan Rahu yang sedang dibakar oleh kemarahan.

Karena itu, maka kedua orang itu pun kemudian telah mengamuk seperti orang yang kehilangan nalarnya. Mereka tidak lagi mempunyai pertimbangan lain, kecuali menuntaskan perlawanannya sampai mereka pun akan terbunuh pula.

Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Jlitheng dan Semi, Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali menghentikan kegilaan lawan-lawan mereka. Karena itulah, maka berturut-turut. Semi dan Jlitheng pun telah mengakhiri perlawanan orang-orang Sanggar Gading itu dengan menembus tubuh mereka dengan senjata.

Sejenak ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar hanyalah desah nafas yang memburu. Ternyata bahwa Rahu dan kawan-kawannya berhasil menyelesaikan pertempuran itu tanpa memberiku taruhan, selain goresan-goresan kecil pada tubuh mereka. Tetapi goresan-goresan itu sama sekali tidak berarti sementara titik darah pun segera menjadi pampat oleh taburan obat yang mereka bawa.

“Apa yang akan kita lakukan kemudian” desis Semi.

“Panggil salah seorang pengawal” berkata Rahu.

Semi pun kemudian turun lewat pintu butulan dengan senjatanya yang merah oleh darah.

Para pengawal yang termangu-mangu terkejut melihat Semi turun dengan senjata telanjang. Dengan serta merta, para pengawal itupun kemudian mempersiapkan diri.

Tetapi Semi yang tertegun pun kemudian berkata, “Satu atau dua orang diantara kalian, masuklah. Kami ingin berbicara. Kami telah membunuh beberapa kawan kami yang melanggar perintah pimpinan kami”

Para pengawal itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dua orang diantara mereka telah mengikuti Semi memasuki ruang dalam.

Para pengawal itu tertegun. Mereka benar-benar melihat empat sosok mayat yang terkapar di lantai. Namun kedua pengawal itu pun kemudian menggeram ketika mereka melihat puteri Pangeran itu telah menggenggam hulu pedangnya.

“Tidak” jawab Rahu, “Nrangsarimpat yang terbunuh itulah yang telah membuatnya tidur. Tetapi ia selamat”

Selagi kedua pengawal itu termangu-mangu, Rahu telah melangkah mendekatinya Kemudian ia pun berkata kepada kedua pengawal itu, “Bawa puteri ke bilik yang lain. Aku akan membuatnya sadar. Tetapi jika puteri melihat mayat yang terbujur lintang itu, ia akan menjadi ketakutan dan mungkin kejutan yang sangat akan mempengaruhi kesadarannya”

Kedua pengawal itu masih termangu-mangu. Namun akhirnya mereka pun mengangkat puteri itu dan membawanya ke bilik disebelah, dan kemudian embannya pula.

Para pengawal itupun menjadi tegang ketika mereka melihat Rahu mulai meraba tubuh puteri itu. Perlahan-lahan pada tengkuknya. Kemudian tepat pada simpul syaraf kesadarannya, Rahu menekannya perlahan-lahan untuk membuka sentuhan Nrangsarimpat yang telah membuat puteri itu tertidur.

Ternyata usaha Rahu berhasil. Perlahan-lahan puteri itu membuka matanya, hampir bersamaan dengan embannya yang tersadar dari pingsannya pula.

Yang nampak kemudian adalah bayangan-bayangan yang kabur. Namun kemudian bayangan itu menjadi semakin jelas. Hampir saja ia berteriak ketika ia melihat wajah yang garang yang tidak dikenalnya seolah-olah akan menerkamnya.

“Jangan takut puteri” terdengar seseorang berkata.

Puteri itu mengusap matanya. Wajah-wajah itu menjadi semakin jelas. Ternyata yang dilihatnya kemudian adalah dua orang pengawal istana yang sudah dikenalnya baik-baik. Sementara itu, ia melihat pula orang-orang yang telah bertempur di ruang sebelah sebelum ia tidak ingat apa-apa lagi yang terjadi atas dirinya.

Rahu memandang puteri itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada para pengawal, “Jagalah baik-baik. Aku telah mengorbankan beberapa kawanku yang akan melanggar perintah pimpinanku. Jika pada saat yang lain datang pula beberapa orang dengan alasan orang itu berbuat bagi kepentingan mereka sendiri, dan kau dapat membayangkan, apa yang terjadi atas puteri itu jika ia jatuh ke tangan kawan-kawanku”

Kedua pengawal itu termangu-mangu, sementara emban yang telah sadar itupun merangkak mendekati puteri yang masih terbaring.

“Puteri” desisnya.

Puteri itupun memandanginya sejenak. Kemudian ia pun bangkit sambil beritanya, “Bagaimana dengan kau biyung?”

“Bagaimana dengan puteri?”embannya itu ganti bertanya,

“Ia tidak mengalami sesuatu” Rahu lah yang menjawab lalu katanya, kepada para pengawal, “Aku terpaksa segera meninggalkan tempat ini. Aku harus menyusul kawan-kawanku yang mungkin sudah terlalu jauh. Selenggarakan mayat-mayat itu. Sebaiknya tidak ada orang lain yang mengetahui. Pesankan kepada seisi istana ini agar keselamatan Pangeran tidak terganggu”

“Jadi bagaimana kami harus mengubur kawan-kawanmu tanpa diketahui orang lain” bertanya salah seorang pengawal.

“Kuburlah di kebun belakang. Pada saatnya mereka akan dipindahkan ke tempat yang lain. Atau barangkali kau mempunyai cara yang lain untuk membawa mayat-mayat itu ke kuburan tanpa diketahui oleh orang lain” berkata Rahu lebih lanjut.

Para pengawal itu termangu-mangu. Namun Rahu pun berkata, “Aku percaya bahwa kalian akan dapat menyelesaikannya. Kami tidak mempunyai waktu cukup untuk melakukannya. Sekali lagi aku berpesan, jaga puteri itu baik-baik”

Para pengawal itu termangu-mangu. Namun ada semacam sentuhan yang aneh di hati mereka. Di lingkungan orang-orang yang garang dan kasar, masih ada juga yang berusaha untuk berbuat atas dasar peradaban manusia.

Sejenak kemudian, maka Rahu, Jlitheng dan Semi pun segera berkemas. Mereka masih sempat minta diri kepada puteri dan para pengawal. Sambil turun dari pintu butulan Rahu masih berpesan, “Jangan biarkan puteri melihat mayat-mayat itu. Biarlah ia untuk sementara tetap di dalam biliknya”

Demikianlah, maka Rahu, Jlitheng dan Semi segera meninggalkan istana itu setelah mereka berhasil menyelamatkan puteri. Rahu tidak perlu gelisah atas kelambatannya, karena yang dilakukannya sudah diketahui oleh Cempaka yang akan mempertanggung jawabkannya.

Sementara itu, di istana yang mereka tinggalkan, para pengawal menjadi sibuk. Mereka berusaha agar puteri tetap berada di dalam biliknya sementara para pengawal berbincang apa yang sebaiknya mereka lakukan bagi mayat-mayat yang terkapar di lantai.

“Kita akan membawanya ke kuburan. Tidak baik untuk dikubur di kebun belakang” desis salah seorang dari para pengawal.

“Tetapi bukankah dengan demikian kerja kita akan diketahui orang sehingga kita tidak akan dapat merahasiakannya lagi?” desis pengawal yang lain.

“Kita bawa dengan kereta tertutup malam nanti. Kita jugalah yang menggali kubur dan menguburkannya tanpa minta bantuan orang lain jawab pengawal yang pertama, lalu, “Bukankah kawan kita cukup untuk melakukannya? Kita beritahu paman pekatik, gamel dan juru taman. Justru kita pesan kepada mereka dan keluarga mereka, agar mereka tidak mengatakan apapun juga tentang peristiwa ini bagi keselamatan Pangeran”

Sejenak para pengawal itu berpikir. Akhirnya, mereka tidak berkeberatan untuk melakukannya. Karena itulah maka mereka segera memanggil beberapa orang termasuk para pelayan yang melayani kereta.

Dalam pada itu, selagi para pengawal bersiap-siap membawa mayat-mayat itu untuk menguburkannya maka Rahu, Jlitheng dan Semi telah berpacu semakin jauh.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Jlitheng berkata, “Rahu. aku mempunyai pikiran lain dengan diriku sendiri”

“Kenapa?” bertanya Rahu.

“Aku tidak akan kembali ke Sanggar Gading. Aku akan kembali ke daerah Sepasang Bukit Mati. Bukankah pada saatnya Pangeran itu akan dibawa ke daerah itu? Aku kira serba sedikit kau pun telah mengetahuinya” berkata Jlitheng kemudian.

“Tetapi apa kataku, jika Cempaka bertanya tentang kau?” Rahu menjadi termangu-mangu.

“Jika benar kau sudah mendapat ijin Cempaka untuk menyelesaikan Nrangsarimpat, maka katakan saja, bahwa aku telah terbunuh pula dalam pertempuran ini, sehingga dengan demikian, maka kau tidak akan mempertanggung-jawabkan aku lagi, karena aku tahu, bahwa kau tentu mendapat tugas untuk mengawasi aku pula” Jawab Jlitheng.

Rahu menjadi ragu-ragu. Dipandanginya Jlitheng dengan saksama, seolah-olah ia ingin meyakinkan, dengan siapa ia berhadapan.

“Apakah kau masih meragukan aku?” bertanya Jlitheng.

“Tidak. Aku tidak meragukan lagi, bahwa kau adalah Candra Sangkaya. Tetapi dalam perkembangan keadaan mungkin kau dan aku mempunyai landasan berpijak yang berbeda, desis Rahu.

“Dan kau curiga, bahwa aku akan membuka rahasiamu” berkata Jlitheng.

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebagaimana aku menganggap bahwa Senapati Agung yang bernama Surya Sangkaya adalah seorang yang memiliki kelebihan, bukan saja pada kanuragan, tetapi juga pada budinya maka aku pun berharap bahwa kau juga memiliki kelebihan budi dari orang kebanyakan”

“Maksudmu?” bertanya Jlitheng

“Kau akan berpijak pada jalan kebenaran. Juga tentang Pangeran yang malang itu” sahut Rahu, “apapun hubungannya Pangeran yang malang itu dengan orang-orang Sanggar Gading dan daerah Sepasang Bukit Mati, namun aku mempunyai tugas untuk melindunginya. Jika kau lebih dahulu pergi ke Bukit Mati maka kau akan dapat menempatkan dirimu. Atau barangkali kau mempunyai kepentingan sendiri?”

 

 Bersambung ke jilid 10

 Sumber DJVU http://gagakseta.wordpress.com/

Ebook oleh : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/

 Diedit, disesuaikan dengan buku aslinya untuk kepentingan blog https://serialshmintardja.wordpress.com

oleh Ki Arema

kembali | lanjut

4 Tanggapan

  1. gmn mau asyik klo klo kelanjutan cerita ga bs dibuka

    gak asik kalau ceritanya segera selesai, he he he ….
    gampang kok dibukanya, tinggal klik saja, tapi nunggu lusa (jilid 10 diupload Jumat 25 april, jilid 11 dst akan diupload setiap dua hari sekali).
    sabar nggih.

    • matur suwun keteranganipun, man singo ampek kebakaran jenggot wkwkwkwk….

      he he he …
      nggih ki, hasil konversi ke teksnya tidak begitu bagus, sehingga harus baca dan edit sambil mencocokkan dengan buku aslinya. Pada minggu2 biasa maksimal dua jilid saja per minggu, untungnya akhir-akhir ini banyak liburan sehingga produktivitas meningkat sehingga bisa dipercepat dua hari sekali.

      emangnya membacanya dengan cahaya “ublik” ya ki, kok bisanya jenggot kebakaran.

  2. Setelah vacumnya Api Di Bukit Menoreh,kangen juga tulisan SHM,jadi apa yang ada dibaca juga ,,,matur nuwun sederek atas prakarsanya,dan wong namanya gratisan,yaa suka suka yang punya dong upload ceritanya dari sumbernya,,,dalam hal ini sabar pancen oye,yang harus diperhatikan. Silahkan dilanjuk,wong ceritane ape kok,matur nuwun,,,emka

    he he he ….
    bukan suka-suka ki emka
    memang waktu yang tersedia untuk ngedit juga terbatas (dapur harus juga ngepul kan?), sehingga supaya upload ajeg, diatur tiga hari sekali atau dua hari sekali.

Tinggalkan komentar